Mancing Melatih Kesabaran
-Versi : Ki Gendeng Kampiran –
Hari itu Minggu, 24 Nopember 2013, kami trip ber-tiga di tambak yang dijaga dan dikelola oleh Cak Wajib, pesertanya adalah saya, Cak Kliwon, dan Cak Pri. Seperti yang sudah kami perkirakan sebelumnya, hari itu kami bertiga lumayan sukses dengan omset kami pagi itu, semuanya omset. Ini semua berkat informasi yang saya dapat dari Cak Benu, tukang sengget yang biasa belanja di tempat saya. Saya sudah buktikan berkali-kali, informasi dari dia hampir selalu joss, kalau toh dulu pernah meleset, itu karena saya sendiri yang salah, terlambat waktunya, sudah di trip berkali-kali oleh rekan-rekan pemancing kutuk yang lain, saya dan teman-teman baru datang sesudahnya.
Hari itu kami lumayan omzet, saya dan Cak Kliwon kurang lebih sama, masing-masing dapat lebih dari 10 ekor, masing-masing 5 kiloan kira-kira, dan Cak Pri yang agak terlambat menemukan spotnya juga masih bisa dapat kurang lebih 3 kiloan. Sorenya saya dan Cak Kliwon kembali lagi ke sana, dan saya masih dapat 6 ekor (kira-kira 2,5 kg), Cak Kliwon pun dapat, tapi entah dapat berapa saya tidak tahu, karena kita pulangnya tergesa-gesa, malam hari di tambak, nyamuknya luar biasa.
Sebenarnya tidak ada hal-hal yang menarik untuk diceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi di seputar kegiatan mancing hari itu, karena tidak ada monster kutuk yang naik, padahal sebenarnya di sana ada banyak tenggakan-tenggakan yang ekstrim, tenggakan monster. Yang menarik untuk kami ceritakan adalah pertemuan kami dengan sahabat lama saya, Ki Gendeng Kampiran (nama samaran / sebutan dari kami untuk orang-orang yang punya pemikiran nyentrik dan nyeleneh di dunia Mancing Kutuk Gabus ), di warung sego-sambel Cak Paidi, pinggir jembatan, jalan raya lingkar timur Sidoarjo, saat kami mampir makan sepulang dari trip pagi itu. Yaitu tentang falsafah, pemikiran dan pandangan beliau tentang kegiatan kami mancing, pada saat kami ngobrol dengan beliau, sembari kami makan dan ngopi.
“ Hallo Mbah ! “, sapa saya kepada beliau, saat beliau sedang larut dengan rokok kreteknya. Rupanya beliau baru saja selesai makan, piring kosong dengan sisa sambel yang masih banyak, tergeletak di atas meja, di depan tempat duduknya.
“ Hueee…hallo …tumben...dari mana sampeyan itu, monggo….pinarak ! “, balas beliau dengan akrab.
Kami bertiga lalu menyalami Ki Gendeng Kampiran, dan menyalami Cak Paidi, “ piye khabare Kang, rame ta ? “, sapa saya kepada Cak Paidi, pemilik warung sego-sambel, yang asal aslinya sama dengan saya.
“ Apik-apik wae Kang, isuk mau lumayan rame, waktunya orang berangkat mancing, sekarang ya tetap rame, ada Mbah iki opo…..haa…haa…haa ! “, jawab Cak Paidi, dengan logat ndeso, khas cah Bojonegoro. “Kang Har sak bolo-bolone iki nek mangan mesti ke sini Mbah, kadang bareng-bareng orang banyak, sampai tempatnya gak muat “, kata Cak Paidi kepada Ki Gendeng Kampiran, sambil menyiapkan kopi dan sego sambel untuk kami, tanpa kami pesan.
“ Sampeyan itu lho dik, kok hoby sekali mancing, tiap ketemu sampeyan kok mesti bilang dari pulang mancing, kalau nggak gitu ya mau berangkat mancing ?”, kata Ki Gendeng kepada kami.
“ Iya Mbah, namanya juga hoby, refressing Mbah, ngilangno stress ! “, jawab Cak Pri.
“ Stress kok tiap hari, masak tiap hari stress, hee.he.he.. ? “, lanjut Ki Gendeng Kampiran.
“ Nggih mboten Mbah, hiburan Mbah,…cari hiburan yang murah meriah, mau hiburan lain sayang duwitnya Mbah, mending buat mbayar anak-anak sekolah, lak iya to Mbah ? “, jawab Cak Pri.
“ Iyo mesti toh, piye oleh ta..he..he..he ? ” , tanya Ki Gendeng Kampiran dengan ketawanya yang khas.
“ Oooh jangan tanya Mbah…orang-orang ini geng kutuk Mbah,.. kalau mancing setengahnya sandang pangan…haa…haa…haa..sorry lho Kang…kalau kadung dapat bisa sakpirang-pirang ! “, Cak Paidi ikut nimbrung, sambil terus menyiapkan makanan, sebentar lagi semuanya siap disajikan.
“ He…hee..he.. masak toh, kalau mesti dapat sak pirang-pirang, kapan-kapan aku tak ikut….he…hee..he..! “, kata Ki Gendeng Kampiran, sambil terkekeh ngejek, setengah tak percaya.
Berikutnya kami bertiga menikmati sego sambel yang disajikan oleh Cak Paidi, Ki Gendeng Kampiran dan Cak Paidi menemani kami, mereka berdua ngobrol tentang mancing kutuk ala cara kami. Dengan detail Cak Paidi menceritakan segala sesuatu tentang cara mancing kutuk teknik casting umpan percil, yang selama ini kami terapkan, Ki Gendeng Kampiran mendengarkan sambil bertanya ini dan itu, kami bertiga asyik dengan sego sambel kami masing-masing, sambil sekali-sekali meng-iyakan cerita Cak Paidi.
Sego sambel Cak Paidi memang maknyus menurut ukuran lidah kami, asin, pedas, manis, dan gurihnya terkomposisi dengan serasi, sesuai dengan selera kami, terutama untuk saya, yang berasal dari daerah yang sama dengan penjualnya. Makan nasi sambel di sini, seperti makan nasi sambel olahan Ibu saya di rumah.
Padahal yang saya makan cuma nasi, plus sambel, telur goreng, tempe goreng, dan kubis mentah, itu saja yang di piring saya, tapi nikmatnya luar biasa. Saya yakin Cak Kliwon dan Cak Pri merasakan hal yang sama dengan saya, melihat begitu lahapnya mereka makan, apalagi Cak Pri, berkali-kali tampak dia menyeka mukanya yang basah oleh keringat. “ Muantaabbb Kang…sambelnya ! “, katanya.
“ Sampeyan sudah berapa hari Kang, ndak makan …,ha..ha..ha...? “, gurau Cak Kliwon kepada Cak Pri.
“ Bahhh….! “, jawab Cak Pri kethus dan singkat.
Begitulah nikmatnya makan saat perut kita memang benar-benar lapar, makan dengan seadanya, tepat pada waktunya, murah meriah tetapi nikmat, saking nikmatnya sampai kami sudah tak peduli lagi dengan obrolan Cak Paidi dan Ki Gendeng Kampiran.
Namun tak lama kemudian, kami jadi nimbrung lagi dengan mereka, saat mendengar obrolan mereka yang akhirnya mulai berubah menjadi debat, dan adu argumentasi. Ki Gendeng Kampiran protes, saat suatu ketika Cak Paidi berkata demikian, “ Mancing itu melatih kesabaran ! “.
Pandangan Ki Gendeng Kampiran
“ Wah ini, yang saya tidak bisa terima, mancing kok melatih kesabaran, kalau memang benar mancing itu bisa membuat orang jadi sabar, kita semua tidak usah belajar dan berguru jauh-jauh, mancing terus saja, biar sabarnya puol-polan, ya toh ! “, kata Ki Gendeng Kampiran.
“ Lho, kita ini termasuk orang sabar lho Mbah, orang neriman...haa..haa..haa ! “, gurau saya menyela Ki Gendeng Kampiran.
“ He...he..he...kalau nggak nerimo, terus mau protes sama siapa...he..he “, jawab Ki Gendeng Kampiran.
“ Mancing melatih kesabaran itu cuma tembung sanepo, tahu nggak sanepo, sanepo itu bisa berupa perlambang, bisa berupa peribahasa, bisa berupa sindiran halus, bisa juga nubuatan untuk hal-hal yang belum terjadi, bisa tembung kosok-bali (lawan kata), dan lain-lain. Contohnya seperti orang yang mudah lupa, terus dibilang karena kebanyakan makan brutu (maaf = anus ayam), ayam yang mana he...he..he. Ayo to kita kupas satu persatu, apa itu mancing, dan apa itu artinya sabar, terus kita hubungkan, nyambung nggak kira-kira nanti ? “ lanjut Ki Gendeng Kampiran.
Mancing menurut Ki Gendeng Kampiran
“ Mancing itu asal muasalnya dari kata pancing, sampeyan semua tahu kan bentuknya seperti apa, “ngganthol “, yaitu alat yang dipakai untuk mengangkat dan mengeluarkan benda-benda, baik yang tampak maupun yang terjepit dan tersembunyi, dengan cara menusuk lalu mencongkel supaya terkait dan bisa diangkat naik / keluar. Terus diberi awalan me, menjadi kata kerja, dan huruf depannya “p” lebur supaya enak disebutkan, menjadi kata “memancing”, lalu biar ringkas, disingkat lagi tanpa awalan menjadi “mancing”, he..he...he biarpun tua begini, jangan dikira Mbah ini ndak mambu sekolah...he..he..he “, kata Ki Gendeng Kampiran dengan gaya seperti orang-orang terpelajar. Karena nggak ngerti, kami pun diam semuanya mendengarkan, saya pribadi mulai tertarik dengan apa yang beliau katakan.
“ Dalam perkembangannya, mancing itu bisa dihubungkan dengan berbagai macam kata, yang mana filosofi dari kata mancing itu sendiri, nantinya tetap hampir-hampir serupa / ekuivalen, contohnya ; mancing ikan, mancing pembicaraan, mancing perkara, mancing berita (rahasia), mancing konde...hee..he..he, jangan terlalu serius gitu toh. Ayo diperhatikan, filosofinya kan hampir sama, memberi susuatu, umpan maksudnya, supaya keluar kata-kata, supaya muncul perkara, supaya makan ikannya, supaya mau keluar dari persembunyiannya, he..he..he.. iya toh ! Jadi yang namanya mancing itu mesti perlu ada umpan, atau iming-iming supaya berhasil, perlu ada sesuatu untuk menarik perhatian obyek yang dipancing, supaya bisa mendapatkan apa yang diinginkan oleh subyek yang memancing, iya kan. Itu namanya ngakali, akal-akalan, benar nggak...he..he...he ! Kalau sampeyan bilang mancing itu untuk melatih diri supaya cerdik, supaya tangkas, supaya taktis, saya okey...he..he.he “, sambung Ki Gendeng Kampiran .
“ Mancing konde itu apa to Mbah ? “, tanya Cak Pri.
“ Hee...he..he sampeyan itu ternyata ya nyimak to, tak pikir tadi itu diam terus karena gak nalar, he..hee...he “, jawab Ki Gendeng Kampiran.
“ Lha terus kalau sabar Mbah, penjelasannya bagaimana ? “, desak saya kepada Ki Gendeng Kampiran, supaya terus melanjutkan wejangan.
Sabar menurut Ki Gendeng Kampiran
“ Sampeyan belum terima undangan to, ..he..he..he...Sabar tempo hari kan wis mari lamaran...he..hee...he. Katanya mancing untuk melatih kesabaran kok ya tetap belum tahu apa itu sabar...hee..he...he..berarti sampeyan mancing tiap hari itu muspro, alias percum-tak-bergun...he...hee..he. Sabar itu adalah keadaan atau sifat seseorang dengan hati yang penuh dengan kerelaan, hati yang ikhlas, hati yang pemaaf dan tidak pendendam, penuh kasih, dan penuh dengan rasa syukur. Sabar itu tidak mudah marah, bisa mengendalikan diri, dan sanggup menahan dan memerangi hawa nafsu. Dia tidak sombong, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, juga tidak bersuka-cita atas penderitaan dan cela orang lain. Hee...hee...he...sabar itu ndak gampang saudara..he...he...he. Saya dan sampeyan semua ini masih jauh dari kata sabar...hee..hee...he ! Orang cuma lihat stick ndingkluk-ndingkluk saja kok sudah melatih kesabaran...hee...hee..he ! “.
“ Sampeyan tak ajak ngomong kayak begini cocok nggak, maaf lho ya, tersinggung nggak...he..he..he ?”, tanya Ki Gendeng Kampiran kepada kami.
Cak Paidi mulai membereskan piring-piring dan gelas kosong yang terserak di meja kami, sambil senyum-senyum dia menjawab, “ Nggih mboten Mbah...begitu saja kok tersinggung, iya malah senang to Mbah, dapat pencerahan, iyo Kang ? “.
“ He’ee ! “, jawab saya.
“ Lha terus, supoyo sabar, yok nopo carane Mbah ? “, tanya Cak Paidi, sambil ngelap-ngelap meja supaya bersih.
“ Wah... nek dipancing terus begini bisa duduk di sini sampai nanti sore...he..he..he...dik Har ndak pulang-pulang, selak ditunggu nyonyaeee...hee..hee..he. Wis dik Har, lhang mulih...hee.hhe..he ! “, kata Ki Gendeng Kampiran kepada saya.
Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus
mancing di mana ??????...melu po'o.....heehehehe
BalasHapusMasih ingat trip kita yang jalan terus, lalu nyeberang jembatan dua kali, rencananya minggu depan trip lagi ke sana Bah... ikut ya !
BalasHapus