Sabtu, 19 Oktober 2013

Seandainya

Berandai-andai 




Menurut Cak Sul, berandai-andai adalah salah satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mengkreasikan daya pikirnya, sebagai anugerah Tuhan yang paling istimewa, dibanding dengan makhluk bumi lainnya. 

Berandai-andai dipakai sebagai alat untuk menciptakan sesuatu, untuk menyelesaikan sesuatu, untuk merencanakan sesuatu, untuk menghasilkan ide-ide brillian, untuk menghibur diri, untuk menutupi rasa minder, malu dan sebagainya, untuk memuaskan batin dan bermacam-macam kreasi daya pikir lainnya. 

Ketika berandai-andai orang bisa tersenyum dan tertawa, sebaliknya bisa juga sedih lalu ketakutan sendiri. Konon ada orang yang berandai-andai lalu tiba-tiba semaput. Pingsan gara-gara membayangkan anak perempuannya kerja di perantauan. “ Ini kisah nyata !”, kata Cak Sul.

Kadangkala setelah berandai-andai, kita jadi makin optimis yakin, kemudian muncul semangat baru yang membara di hati kita. Namun sebaliknya tak jarang, setelah berandai-andai kita jadi makin pesimis, kecut hati dan berkepanjangan, berikutnya masuk UGD. “ Ini serius, dan kisah nyata”, kata Cak Sul lagi.

Kadang setelah berandai-andai, membayangkan sesuatu yang belum tentu ada, atau belum tentu terjadi, para isteri menjadi makin sayang sama suami. Tetapi adapula sebaliknya, justru setelah berandai-andai, tanpa sebab yang jelas, jadi muncul benci sama suami, lalu marah-marah sendiri, bikin gara-gara, berikutnya anak-anak jadi sasaran pelampiasan. Lagi-lagi,” ini fakta, dan kisah nyata ”, kata Cak Sul.

Adalagi yang karena saking seringnya nonton sinetron, lalu terobsesi dengan tokoh yang diperankan sang Artis, berikutnya berandai-andai, lalu sehari-hari berlagak menjadi seperti, “ haa...haaa..ha! “, tawa Cak Sul.

Sambil terus mendengarkan Cak Sul, saya pun jadi ngelamun dan ikutan berandai-andai, pertama-tama tentang masa depan saya, isteri saya, lalu anak-anak saya tentunya. Saya membayangkan bagaimana hidup ini, kalau nanti saya sudah tua, kalau tiba-tiba ajal datang menjemput, sedangkan anak-anak saya masih kecil dan butuh biaya. Benar apa kata Cak Sul, tiba-tiba ada kesedihan dan rasa takut, muncul di hati saya. Kesedihan dan ketakutan dari diri sendiri, yang muncul karena pikiran saya sendiri, hanya karena membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Lalu saya teringat akan Tuhan, biarlah terjadi apa kata Tuhan, semuanya saya pasrahkan kepada Tuhan. Plass, rasa sedih itu tiba-tiba hilang, hati terasa lega kembali, saya bersyukur, ajaiblah Tuhan.

Cak Sul terus bercerita, dia pikir saya diam mendengarkan, padahal pikiran saya melayang lagi, dan berandai-andai terus, memikirkan tentang apa yang belum terjadi, memikirkan tentang seandainya ini, seandainya itu, lalu seandainya ini dan itu, seandainya, seandainya, dan seandainya. Lagi-lagi benar memang apa kata Cak Sul, hati ini seperti saya kocak sendiri, kadang muncul rasa senang, kadang terasa geli sendiri, kadang susah sendiri, kadang bisa ngeri memikirkannya, lalu saya segera sadar saat memikirkan Cak Sul, memikirkan seandainya Cak Sul berbuat demikian kepada saya, pikiran saya tiba-tiba ingin marah kepada Cak Sul. Untunglah Cak Sul menepuk bahu saya, kami berdua saling pandang, Cak Sul baru tahu kalau saya sebenarnya lagi ngelamun, padahal sejak tadi dia terus bercerita, dan saya benar-benar sudah tidak bisa mengikuti apa yang dia ceritakan. Ternyata memang segala rasa itu, senang, bahagia, sedih dan susah, itu hanyalah hasil rekayasa pikiran saya belaka. 

Tak terasa sudah setengah jam saya nongkrong berdua dengan Cak Sul di Pos Sekawan Anggun, Posnya Mancing Kutuk Gabus, Cak Sul yang terus bercerita, dan saya mendengarkannya sambil berkali-kali ngelamun. Berikutnya saya membayangkan tentang hal-hal yang sudah lampau, tentang masa kecil saya, tentang teman-teman saya waktu SMA, lalu waktu SMP, SD, dan terus melayang sampai ke zaman-zaman dahulu kala. Lalu melayang lagi tentang para filosof-filofof yang hidup di zaman dahulu, tentang para penemu-penemu, tentang roket, tentang computer, tentang klonning, dan terus mblarah ke mana-mana. Akhirnya saya berani menyimpulkan, seandainya dari dulu sampai sekarang tidak ada orang yang mau dan senang berandai-andai membayangkan, tentunya sampai saat ini kita akan terus hidup secara purba, tanpa listrik, tanpa TV, mungkin juga tanpa sikat gigi dan tanpa odol. Luar biasa, ternyata berandai-andai banyak gunanya. Lalu saya menoleh ke Cak Sul lagi, kami berdua saling pandang, “ ngelamun lagi ya....ha..haa..ha ?”, tanya Cak Sul kepada saya.

Itulah hebatnya otak kita, begitu jauh, dalam dan hampir-hampir tak terduga isinya, seperti kata Cak Sul, “ Karunia dari Tuhan, yang luar biasa “. Tapi kalau ngomong yang begini terus, lama-lama ngantuk dan bosan juga, untungnya sejurus kemudian peserta nongkrongnya tambah, Cak Dikin datang begabung, sesaat kemudian Cak Martin. “ Wis..wis Cak Sul.., cerita kutuk saja lo Cak Sul, cerita gituan itu berat, malah bikin ngantuk,… gimana..kopinya tambah ta? “, sela Cak Martin. 

Berikutnya alur cerita di Pos Mancing Kutuk Gabus itu bergulir ke masalah kutuk, seperti biasa Cak Martin suka mengulang-ulang kembali cerita lama, cerita tentang sepak-terjangnya di masa lampau, di rawa-rawa, di tambak-tambak, di sungai-sungai, di laut, di mana-mana. Cerita tentang monster-monster yang pernah ditakhlukannya, tentang berapa banyak reel pancing yang sudah dihancurkannya, tentang merk-merk senar yang pernah dia pakai, dan sebagainya. Semuanya jadi bergairah mendengarkan, termasuk saya juga, padahal sudah sejak tadi saya single mendengarkan Cak Sul. Saya pikir ini perlu tambah kopi lagi buat doping, lalu saya minta ke Pak Sambun.

” Kopinya masih ada Pak Mbun ? ”, pinta saya ke Pak Sambun, karena memang saat itu giliran jaganya Pak Mbun. 

Malam mulai terasa dingin, semilir angin mulai bikin tulang-tulang saya terasa ngilu, tak terhitung berapa kali saya bersin-bersin, badan terasa nggereges semua, saya lagi terserang flu. Sebenarnya saya ingin pamit pulang dan segera tidur, tapi dalam hati berat meninggalkan mereka, lagian cerita tentang mancing kutuk, saya sangat suka. Apalagi kalau yang cerita itu tokoh idola saya, biar diulang-ulang berapa kalipun, saya tetap tertib dan senantiasa khidmat mendengarkan.

Cak Martin terus saja cerita, urut dan rinci seperti yang dulu-dulu itu, mulai dari Gresik, Lamongan, lalu balik ke Surabaya. Pindah lagi tentang mancing di Jakarta, terus Medan, lompat ke Papua. Berikutnya Rawa Pening, lalu Jogja, Semarang, balik lagi ke Sidoarjo, ini seperti trayeknya travel atau bus antar kota, ada nggak ya. 

Akhirnya sampailah pada cerita tentang Trip di Pulau Mandar, seberangnya Tambak Klampis. Waktu itu trip Mancing Kutuk Gabus naik perahu ke Pulau Mandar. Pesertanya Cak Martin, Cik Poo, Anwar Kakak, Ryan Kacong, Christian dan termasuk saya. Semuanya rata-rata puas dengan omzet perolehannya, meskipun masih belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, kecuali Tokoh kita ini sendiri.

Saat cerita tentang Pulau Mandar itulah Cak Dikin tanya,” katanya Sampeyan di sana galau Cak ? “ 

Jawab Cak Martin,” Uoooohhh..., seandainya yang saya hajar terus dengan lemparan itu dulu kena, semua yang didapat teman-teman itu tidak ada apa-apanya, beneran, mungkin saja itu bisa jadi rekor saya tahun ini “. 

“ Huaaaa...haaa...haaaaa ! “, semua yang ada di Pos tertawa.

Lalu sambil masih terkekeh-kekeh Cak Dikin cerita, “ Seandainya yang diomong Pakde Sengat itu benar, bahwa semua tanah dekat-dekat bandara Juanda itu benar-benar miliknya, kekhh..kekhh...ha..ha..kita semua ini kaya raya....haa...ha..ha. Soalnya semuanya katanya mau dibagi-bagi dan serti-pikatnya mau dibalik nama atas kita semua masing-masing,...kekh...kkek..haa...ha.haa ! “.

“ Huaaa....haaa...haaaaa ! “, semua orang tertawa terbahak-bahak. 

Kalau sudah jadi seru begini, saya malahan tidak jadi kepingin pulang, ini yang saya cari, kumpul-kumpul sambil tertawa bebas, membuat pikiran saya senang, fresh dan terasa muda terus, lupa hutang-hutang dan tunggakan rekening yang belum saya bayar. 

Tapi lalu saya jadi berandai-andai lagi memikirkan Pak Sengat, kenapa kok dia juga berandai-andai tentang tanah di sekitar Juanda ya. Mungkin saja, dengan begitu dia bisa merasakan, rasanya jadi tuan tanah, bisa meninggalkan banyak warisan kepada kita, teman-teman nongkrongnya, lalu terhibur dan senang. Yah..maklum orang sudah tua. 

Berpikir tentang orang tua, saya jadi ingat Ayah saya (almarhum) dan Kakek saya (almarhum). Tentang Kakek saya itu, saya malah belum pernah tahu wajahnya, karena beliau sudah lama meninggal, jauh sebelum saya lahir. Aneh kan ? Saya bisa membayangkan bagaimana beliau itu, karena berkali-kali dapat cerita tentang beliau itu dari almarhum Ayah saya. Terutama cerita tentang Pohon Mangga di sebelah rumah, yang ditanam Kakek saya. 

Pohon Mangga di sebelah rumah 

Di sebelah rumah saya, di desa tentunya, ada pohon mangga, tumbuh besar sekali, tinggi sekali, dan rimbun sekali. Begitu suburnya pohon itu, sampai rumput-rumput pun tidak mau tumbuh di bawahnya, sehingga bawahnya bersih dan teduh, setiap hari jadi tempat bermain saya dan teman-teman saya semasa kecil dulu. Main kelereng, main petak umpet, main lompat tali, main ayun-ayunan, dan main apa saja sesuka kami, karena di sana benar-benar nyaman. 

Karena tinggi dan rimbunnya cabang-cabang pohon itu, bermacam-macam burung suka bertengger dan bersarang di sana. Hampir setiap saat kita bisa mendengar kicauannya. Saya masih ingat sekali, ketika Ibu saya sering menirukan kicauannya itu untuk menidurkan saya dan adik saya di waktu siang,“ cit...ciit..ciiiit......thirrrrrrrr ! “, begitu Ibu saya biasa menirukannya. 

Yang lebih istimewa, adalah ketika lagi musim, pohon itu begitu banyak buahnya, dan buahnya pun lebih manis dibanding pohon-pohon mangga lainnya, yang memang ada banyak di halaman rumah masa kecil saya. 

Di desa, hampir semua orang punya pekarangan yang luas, demikian juga hampir semua orang punya tanaman pohon mangga, tetapi tetap saja tetangga-tetangga di sana, ikut memetik dan merasakan buah dari pohon mangga yang di sebelah rumah itu. Mereka dan anak-anak mereka, karena memang hidup di desa, semuanya seperti saudara. Anehnya, pada musim mangga berakhir, hanya pohon itu saja yang masih ada buahnya, sedang yang lainnya habis oleh saya dan teman-teman saya. Mungkin karena pohon itu yang paling tinggi tumbuhnya, sedangkan yang lain jauh lebih rendah dan sedikit buahnya. 

Kata Ayah saya, itu adalah pohon kenang-kenangan dan tinggalan yang terakhir dari Kakek saya. Sepeninggal Nenek saya, Nenek memang dipanggil duluan, Kakek merasa sangat terpukul dan kesepian sekali, meskipun saat itu tinggal bersama Ayah, dan beberapa Paman dan Bibi saya. 

Waktu Kakek bersih-bersih ladang di belakang rumah, ceritanya di situ dulu juga ada pohon mangga yang sudah tua sekali pohonnya, tapi saya tidak njamani. Kakek menemukan buah mangga yang besar dan sudah ranum, tergeletak di tanah begitu saja, mungkin jatuh saat mau dimakan kelelawar. Lalu Kakek kupas dan makan buah itu, dan Kakek bilang ke Ayah saya, “ Lihatlah, buah mangga ini kayaknya istimewa, dagingnya benar-benar manis dan segar, bijinyapun keras dan besar. Biarlah biji ini saya tanam, nanti kalau mau tumbuh, besar dan berbuah, kamu semua akan tahu rasanya “. 

Singkat cerita, biji itu ditanam lalu bertunas, dan tumbuh. Kakek setiap hari duduk-duduk di situ sambil menyiram, mencabuti rumput-rumput di sekitarnya, dan terus mengikuti perkembangannya. Pembaca pasti tahu kalau kita menanam mangga dari bijinya, bayangkan betapa lama pertumbuhannya. Sedangkan usia Kakek sudah sangat lanjut waktu itu, mana mungkin beliau bisa ikut menikmati buahnya. Dan benar, beberapa tahun kemudian Kakek saya meninggal, sedangkan pohon itu baru tumbuh setinggi pagar ( kurang lebih 2 mt ). 

Yang saya bayangkan adalah, kenapa Kakek begitu yakin, lalu mau menanam, dan terus tekun menyiram dan merawat pohon itu. Apa yang ada dibenak Kakek saya waktu itu, saya tidak tahu. Setiap hari, beliau hanya menyiram, merawat, menyiram, dan merawat saja, entah kapan hasilnya, saya yakin beliau sendiri pun tidak tahu. Mungkin saja Kakek suka berandai-andai, membayangkan betapa girangnya cucu-cucunya nanti saat makan buah dari pohon mangga yang ditanamnya itu, betapa senangnya mereka nanti bersenda-gurau dan bermain-main di bawah pohon mangga yang ditanamnya itu. 

Saya sendiri juga berandai-andai, seandainya Kakek saya hanya memikirkan dirinya sendiri saja, mengingat usianya yang sudah tua, yang sudah jelas tidak akan bisa ikut menikmati buahnya,  tentu pohon mangga itu tidak pernah ada, dan kami semua tidak bisa menikmatinya. 

Lagi-lagi benar apa kata Cak Sul, “ Berandai-andai itu anugerah Tuhan yang istimewa ! “. 

Oleh : 
Admin. Mancing Kutuk Gabus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda di blog kami, dengan senang hati, kami mempersilahkan Anda untuk memberikan masukan, saran, dan komentar.
Salam bahagia.