Kamis, 10 Oktober 2013

Berbincang dengan Mbah Sawiyo



Berbincang dengan Mbah Sawiyo

“ Zaman saya muda dulu, kalau ada wanita yang mau dinikahi orang mancing, itu sudah jelas sejelek2nya wanita, atau se-apes2nya wanita ”, cerita Mbah Yo kepada saya dan teman2, saat istirahat di gubuknya Mbah Yo. Kontan semua orang yang ada di situ tertawa ngakak, mereka baru pertama mendengar ini dari Mbah Yo.  Saya cuma tersenyum, saya sudah pernah mendengar kalimat yang serupa, 5 tahun yang lalu, dari Abah Manap, pemilik kolam pancing di Banjar Panji, Sidoarjo.

“ Kok bisa Mbah ? “, tanya Tofa penasaran, karena memang cuma dia di antara orang2 yang ada di situ, yang masih bujangan.  Cak Ali dan Pak Su’eb yang dari tadi sibuk dadak ganggang, akhirnya mentas dan ikut nimbrung, duduk di tanah begitu saja, di depan Mbah Yo, keduanya masih basah kuyub oleh air tambak.

Merasa banyak yang tertarik, Mbah Yo melanjutkan ceritanya, “ Iya, masalahnya kalau zaman dulu itu, orang mancing untuk mencari nafkah, untuk makan, bukan kayak sekarang ini. Orang tua zaman dulu, lebih senang kalau anak gadisnya dirabi pegawai, orang kantoran, tentara, pulisi (maksudnya polisi). Masa depannya jelas, punya pensiun, sudah ndak akan ngerepoti orang tua lagi. Tapi sekarang ini beda, lha wong orang mancing sekarang ini semuanya pada punya hape….uhuk…uhuk…uhuk ! “. Berkata panjang lebar Mbah Yo langsung batuk.

“ Haa…..haaaa.haaaaa…hhaaaaaa ! “, semua orang tertawa keras2, suasana jadi meriah gara2 Mbah Yo. Teman2 yang sebenarnya dari tadi sudah pada kemas2 mau pulang, karena memang hari sudah jam 8.00 siang, kutuk2 sudah ndak nggondol, matahari sudah terasa sangat terik menyengat, akhirnya pada duduk semua, mendengarkan Mbah Yo.

Mbah Yo, adalah pemilik tambak di daerah Rangkah, usianya kira2 mendekati 70 tahun, pensiunan tentara. Orangnya sederhana, orang yang ndak kenal pasti mengira Mbah Yo itu sadis, pendiam, pemarah, sombong, sulit diajak ngomong, dan sebagainya. Karena Mbah Yo memang raut mukanya demikian, kumisnya lebat ubanan, orangnya juga jarang bicara, meskipun ketemu persis di depan kita, tersenyum pun tidak. Tetapi dia sama sekali tidak pernah keberatan, ketika kita hampir tiap hari mancing kutuk di tambaknya, “ habis2-kan…!”, katanya. Namun kalau dia sudah mau ngobrol dengan kita, barulah kita tahu Mbah Yo, orangnya peramah, mudah akrab, banyak pengalaman, wawasannya luas, suka bercanda, dan yang paling unik, dia itu cepat hafal nama2 kita, dia selalu memanggil kita dengan nama kita. Tidak seperti pemilik2 tambak lainnya, yang meskipun sering gaul akrab dan berbincang2 dengan kita, tetapi belum tentu tahu nama2 kita semuanya, paling2 satu dua orang yang dikenal mereka.

“ Ojok seneng2 mancing, wong mancing ngono nguwenehi mangan ngerah patine ! “, kata Mbah Yo lagi, dan kontan semua orang tertawa lagi. (Artinya : janganlah bersenang2 dengan mancing, sebab orang yang mancing itu, memberi makan supaya bisa merenggut nyawa). 

“ Lha terus, kalau mau cari kutuk, gimana caranya Mbah ? “, tanya teman2.

“ Cari kutuk kok mancing, sampeyan kalau hujan2 itu lho ke sini, jalan saja keliling tambak nanti kan ketemu kutuk, malah iso sak pirang2 ! “, jawab Mbah Yo.

Kenyataannya memang demikian, ketika musim hujan tiba, selesai hujan lebat dan hujan masih turun rimis2, biasanya kutuk2 lompat kedaratan. Penjaga tambak cukup berjalan saja mengelilingi tambak, untuk memungut kutuk2 yang melompat ke pinggir2 tambak itu, dan itu bisa dapat puluhan ekor, kalau ditimbang bisa dapat belasan kilo,  jauh lebih banyak daripada jumlah terbanyak yang pernah kita dapat dari mancing. 

Tapi jelas bukan ini yang kita cari, kita memang mancing kutuk, tetapi sensasinya- lah yang kita cari. Kita bukan senang karena dapat puluhan ekor kutuk, puluhan kali strike-nya itulah yang kita senangi, dan yang kita banggakan, yang kita nanti2kan setiap pagi, dan yang kita sering bicarakan setiap hari. Ini berbeda dengan apa yang dipikirkan Mbah Yo.

“ Wah … gak seni itu Mbah, kita ini cari seni, orang mancing kutuk itu cari seninya Mbah !”, kata Tofa lagi, memang hanya Tofa yang berani ngomong banyak sama Mbah Yo, yang lainnya agak2 sungkan.

“ Golek seni kok nok tambak, nek wong sekolahan iku golek seni yo nok museum ! “, jawab Mbah Yo, lagi2 semua orang tertawa ngakak.  

“ Iyo Mbah…lha wong sing mancing iki ra enek sing sekolah….kekkh….kkekkhh…kekkh..! “, Pak Su’eb yang dari tadi ikutan tertawa terkekeh2, ikut menimpali.

Saya jadi penasaran, tertawa terus membuat perut terasa sakit mulas, saya ingin tahu apa kira2 jawaban Mbah Yo, lalu saya tanya, “ Terus apa bedanya dengan orang nambak Mbah, bukankan panjenengan ngasih makan ikan, membesarkannya, lalu nanti juga untuk dipanen, dan disembelih ? ”.

“ Sampeyan keliru, saya memang memelihara ikan dan ngasih makan, tetapi saya tidak ikut membesarkan, dan memang terus saya  jual, lalu mereka yang nyembelih, …bukan saya “, jawab Mbah Yo santai. 

Bagi saya ini agak srekalan, saya kejar lagi, “ apa panjenengan ndak pernah mbeteti ikan to Mbah ? “.

“ Iyo nek pas pingin. “, jawabnya.

“ Itu podo mawon Mbah ! “, semua orang tertawa ngakak.

“ Sampeyan kalau mancing itu ya harus hati2, jangan mburu senang thok, terus lali, kutuk di sini itu ada yang momong,  apalagi kalau mancing di bawah pohon trembesi sana itu. “, cerita Mbah Yo lagi.

“ Emangnya ada apa Mbah di sana ? “, tanya Cak Kliwon, kali ini semuanya serius mendengarkan.

“ Kemarin itu, pagi2 sekali, hari masih gelap sehabis subuh, saya dengar sendiri dari gubuk sini, nuenggak sak buanter-buantere, “ byyuuooorrrr….! “, suaranya kayak pohon rubuh, mau tak lihat ke sana kok masih gelap, terus tak lihat saja dari sini. “ sambung Mbah Yo.

Semuanya diam serius mendengarkan Mbah Yo, kecuali Cak Pri, sambil memegang perutnya dia menahan tawa, tapi ndak kuat, lalu ngakak,” kaa….kaaa..khaaa ! “. Mbah Yo mesem2 melihat Cak Pri, jari telunjuknya yang kanan menutup mulut, telunjuk yang kiri menunjuk Cak Pri.

Akhirnya Cak Pri buka mulut cerita, kontan semua orang tertawa ngakak keras2, semua baru tahu kalau Cak Pri kemarin kecebur tambak, ketika pagi2 sekali casting sendirian dari bawah pohon trembesi. 

Setelah puas tertawa2 dengan Mbah Yo, Cak Ali dan Pak Su’eb, selanjutnya kami pamit pulang. Di jalan, teman2 masih saja terus tertawa membicarakan Mbah Yo. Terlebih lagi saya,  kejadian2 yang saya alami pagi hari tatkala mancing, kadang masih terbawa di tempat kerja siang hari, dan saya kadang tersenyum sendiri.

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda di blog kami, dengan senang hati, kami mempersilahkan Anda untuk memberikan masukan, saran, dan komentar.
Salam bahagia.