Jumat, 15 Agustus 2014

Fotografi Pra Lomba

Mrs. Yellow Stone

Masih ada 9 hari buat para peserta lomba untuk mempersiapkan diri, sebelum tiba hari yang dinantikan oleh semua tokoh-tokoh kutuk, yaitu pada saat nanti Abah Eric meniup peluit, Minggu 05.00 pagi 24 Agustus 2014.

Untuk saya pribadi, rasanya tidak ada yang perlu saya persiapkan terlalu khusus menghadapi lomba, karena memang set peralatan mancing saya selalu siap setiap hari untuk menghadapi monster. Yang jadi persoalan adalah bahwa akhir-akhir ini trip saya seringkali galau, jangankan monster, omset yang kecil-kecil saja susahnya minta ampun.

Pagi itu saya sengaja bangun lebih awal daripada hari-hari sebelumnya, saya mau latihan melempar umpan, saya mau mencari tenggakan, saya mau mencari pangkatan, gapuran, dll. Pokoknya saya pingin omset pagi itu, syukur-syukur apabila bisa dapat monster, seperti yang saya angan-angankan malam harinya sebelum tidur.

Saya sengaja trip sendirian pagi itu, mencari lokasi tambak yang jauh, yang mungkin tidak akan ketemu pemancing-pemancing kutuk yang lain. Tanpa ada informasi sebelumnya mengenai lokasi tersebut, saya hanya mencari lokasi secara asal-asalan, pokoknya nanti ada tambak yang kelihatannya bagus sesuai feeling saya, akan saya coba. Toh nanti pada saat lomba, kami semua juga tidak akan tahu spot-spotnya, karena lokasi lomba baru diumumkan nanti tepat pada saat lomba. Anggap saja trip saya pagi itu adalah simulasi dari lomba itu sendiri, namun bedanya kali ini saya tidak ada saingan.

Nah…saya tiba di lokasi tambak (maaf tidak saya sebut tambak mana yang saya kunjungi, jelas nanti anda semua akan meluncur ke sana…ha..ha…ha…!), lalu singkat cerita saya mencari tempat untuk menaruh pantat dan mencabut peralatan saya.

Tambak itu tidak terlalu lebar, tetapi panjangnya tidak umum, panjang sekali. Airnya kelihatan bening bagus dengan ganggang-ganggang di tengah-tengahnya yang tertata rapi sepanjang tambak tersebut, dan di tempat ganggang-ganggang itu ada kolong-kolongnya yang dibatasi dengan bambu, saya hitung kurang lebih ada 18 kolong-kolong ganggang, “ wuih…jelas kutuk thok iki ! “ pikir saya dalam hati.

Matahari mulai muncul dari ufuk timur, pagi yang tadi gelap di tambak itu mulai sedikit terang. Air tambak yang tadi sepi senyap tanpa tanda-tanda kehidupan, mulai beriak-riak dan berkecopak oleh gerakan-gerakan ikan. Ada suara batuk-batuk dari dalam gubuk, mungkin penjaganya terbangun oleh suara wak wik joran saya ketika melempar umpan.

Benar juga, beberapa saat kemudian pintu gubuk berbunyi dibuka, seorang bapak yang berperawakan kecil dan kurus keluar dari gubuk sambil batuk-batuk. Rambutnya yang sedikit dan ubanan terlihat agak mengkilap oleh sinar matahari yang mulai terbit, ingin saya memotretnya, sebuah model photo yang klasik dalam pandangan saya, tapi saya urungkan, karena beliau segera menoleh kearah saya. Berikutnya tanpa menghiraukan saya, beliau berjalan ke arah tukuan dekat pohon-pohon pisang, lalu berjongkok di atas tukuan sambil menyalakan rokok. Saya yakin dia sedang membuang sesuatu di situ.

Satu jam berlalu, tak satupun lemparan saya menghasilkan gondholan, padahal sudah lima kali saya mengganti percil karena rusak dan terlepas, “ wah… alamat galau lagi hari  ini … “, pikir saya dalam hati. Kalau simulasi tanpa pesaing saja galau, bagaimana saya nanti menghadapi lomba, rasa was-was tiba-tiba muncul di benak saya, saya mulai hanyut dalam kekhawatiran, kesedihan. Motivasi saya adalah nanti bisa tampil sebagai juara. 

Memikirkan juara, saya jadi teringat Gus Salam, “ sialan benar Gus Salam, tanpa latihan rutin, jarang-jarang trip, cuma berbekal mesam-mesem thok sambil terkekeh-kekeh,..heh..heh…heh… bisa tampil menjadi juara pada lomba tahun lalu…benar-benar sialan itu orang ! “, saya mulai mengutuki Gus Salam dalam hati.

Seekor capung kuning hinggap di pucuk joran saya, yang  terdiamkan beberapa saat, tak sengaja lupa memainkannya, saat pikiran ini hanyut memikirkan Gus Salam. Rupanya capung kuning itu sengaja menyadarkan saya dari lamunan. Begitulah pemancing, sering ngelamun kalau terlalu lama tak ada gondholan.

Joran pancing saya pegang lagi dengan sadar, reel pancing saya gulung, dan capung itupun terkejut lalu terbang, rupanya dia juga sedang melamunkan sesuatu, “ aneh capung kok juga senang berlama-lama ngelamun ? “, saya ngoceh sendirian.

Aneh lagi ketika saya selesai melempar percil,  capung itu hinggap lagi di pucuk joran saya, mungkin pucuk joran ini adalah tempat yang pas untuk melamun, untuk permenungan, seperti halnya tukuan untuk bapak tadi, seperti halnya pojok-pojok tambak untuk saya,…haa..ha…ha.

Menjumpai yang aneh-aneh membangkitkan gairah saya untuk mengambil gambar, pikiran jelek tentang Gus Salam langsung sirna, stick pancing saya taruh perlahan-lahan di tanah, capung itupun terbang lagi, untungnya hinggap mendekati saya. Kamera saya keluarkan, saya set sebentar untuk khusus memotret capung (makro).



Mrs. Yellow Stone

Lima kali saya jepret di tempat pertama, dua jepretan saya hapus karena kabur, satu lagi saya hapus karena posenya tidak saya inginkan, satu gambar (gambar di atas) saya anggap cukup memuaskan, satu lagi dengan hasil gambar yang relative sama, saya simpan untuk cadangan.

Butuh waktu agak lama bagi saya untuk memilih-milih gambar capung dari kelima jepretan tadi, maklum usia, mata ini seharusnya pakai kacamata plus 125, tapi jarang saya pakai karena Lily tidak suka saya pakai kacamata, “ kayak orang cupu….culun punya ! “ katanya, tentang saya kalau sedang memakai kaca mata.

Lily adalah putri saya yang terakhir, teringat akan Lily sambil memilih-milih gambar capung memunculkan ide untuk memberikan sebuah nama kepada capung kuning tadi. Lily memang suka memberi nama kepada hewan-hewan yang dijumpainya. Kupu-kupu yang masuk ke rumah diberinya nama Elsa. Anak kucing yang lahir di bawah mobil saya, diberinya nama Ana. Tikus yang lengket di jebakan lem di dapur, diberinya nama Vavia. Kecoak yang terlentang dan menggeliat-geliat di kamar mandi karena insektisida yang saya semprotkan , diberinya nama Kamsa, dan masih banyak lagi nama-nama hasil imajinasinya. Untuk itu capung ini saya beri nama Mrs. Yellow Stone, sesuai imajinasi saya .

Mrs. Yellow Stone selesai pada sesi pemotretan yang pertama, dan kini dia menghendaki untuk pengambilan gambar di tempat lain.


Saya senang sekali photography, saya terus mempelajari dan melakukannya, di sela-sela kegiatan mancing saya, di rumah, di tempat kerja, dan dimana-mana ketika saya ingin melakukannya. Sayangnya saya tidak bisa bercerita dan berbagi banyak hal tentang photography, tidak seperti Pak Man di Tambak Bibis, yang bisa bercerita banyak dan detail tentang kutuk dan seluk-beluk kehidupannya. Ataupun Cak Martin Bogank, yang bisa menjelaskan secara terperinci cara memainkan umpan tikus-tikusan untuk mengelabui kutuk-kutuk yang sembunyi di tempat-tempat rungsep dan belukar. Sayang pada saat lomba nanti umpan tikus-tikusan tidak diperbolehkan, semua pemancing harus menggunakan umpan percil (anak kodok) asli, tidak peduli cari percil akhir-akhir ini susahnya minta ampun.

Saya tidak bisa membayangkan nanti Sabtu malam sebelum lomba, areal persawahan seperti Durung Beduk, Beduk Dowo, Modong, Sidodadi, Grinting, dan lain-lain akan semarak dengan kerlap-kerlip lampu senter oleh para Hunter percil. “ Kayak kemamang…hua…ha…ha…ha ! “, kata Abah Eric pada saat rapat.




Mrs. Yellow Stone beranjak ke tempat lain, saya terus mengikutinya dengan kamera, seperti layaknya seorang photographer beneran, atau seorang paparazzi, “ paparazzinya kepik…hua…haa..haa ! “, Kang Win pernah mengejek saya demikian.

Kang Win adalah salah seorang anggota Mancing Kutuk Gabus yang pernah menderita stroke sampai 2 kali, Alhamdullilah mendapat mujizat dari Tuhan, dan sembuh total hingga sekarang, terus aktif bersama Mancing Kutuk Gabus. Keahliannya dibidang percetakan dan printing, menjadikan tempat bagi saya untuk meminta saran dan pendapat ketika editing photo. Beliau sudah mempersiapkan diri jauh-jauh sebelum lomba dengan mengganti line senarnya, memborong beberapa ukuran mata kail dan membersihkan serta melumasi reelnya, begitu optimis untuk bisa tampil sebagai juara atas keberuntungan. “ Yang penting partisi-sapi, eh partisi-spasi hua..ha…ha.. ! “, teriaknya sambil tertawa ngakak.




Mrs. Yellow Stone tampak begitu anggun ketika mendongakkan kepalanya sedikit ke atas, imajinasi saya berkembang, mungkin dia sedang mengatakan, “ save dragonfly, selamatkan capung ! “. Tetapi selamatkan capung dari apa, tidak ada yang pernah berslogan demikian. 

Ada begitu buanyak komunitas capung di tambak, dan itu tidak akan terusik selama tambak-tambak tersebut masih ada. Kalau di luar negeri ada slogan, “ save penguin ! “, itu lebih beralasan, karena kehidupan penguin mulai terancam oleh limbah-limbah industry yang dibuang orang  ke laut.

Rasanya juga tidak beralasan kalau ada yang mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti di Sidoarjo pun akan ada, “ save kutuk ! “, atau akan ada slogan, “ stop hunting percil, save frog ! “. Alasannya karena akhir-akhir ini para pemburu kodok professional mulai kesulitan untuk mendapatkan yang besar, “ bagaimana bisa besar, kalau yang kecil-kecil pada diburu ? “, katanya. Kutuk juga makin langka, buktinya harganya kini melambung karena langka, kilahnya.

Jangan khawatir kawan, selama kita tidak melakukan kegiatan eksploitasi yang sangat berlebihan dengan penuh keserakahan, dengan cara manual dan tidak menggunakan peralatan atau metode yang bisa merusak lingkungan, alam akan terus bersahabat dengan kita. Alam akan ikut berbahagia, ketika kita semua berkumpul dan berbahagia, dan kita semua tahu batasan-batasannya.

Di tambak, kutuk-kutuk itu adalah hama, dan kita semua ini hanya mencari kutuk di dalam tambak, dan itu juga hanya dengan cara mancing, bukan dengan cara paksa yang lain. Kalau mereka tidak makan umpan kita, mereka juga tidak akan kena pancing, benarkan. Toh setiap kali tambak itu juga dipanen, dan tentunya kutuk-kutuk yang ada di situ akan dibersihkan sekalian pada saat panen. Jadi kalau demikian, adakah hubungan antara kelangkaan kutuk nanti dengan Mancing Kutuk Gabus ?

Lalu tentang kemungkinan terjadinya kelangkaan percil, percil itu bisa hidup dimana-mana mereka suka, sesuai dengan  cara hidupnya, habitatnya. Cobalah mencari mereka di tempat-tempat mereka biasa ada pada musim hujan, tetapi kita mencarinya pada saat kemarau, dan tanah-tanah tempat mereka itu kering, sulit kan, dimanakah mereka ? Tetapi kembalilah mencari di sana pada saat musim hujan, dan tanah-tanah itu mulai basah berair, kenapa jadi mudah, darimanakah mereka datang ?

Selain itu kita semua ini mencari percil dengan cara tebek (tangkap dengan tangan), hanya mereka yang tampak saja yang bisa kita ambil, itupun mereka yang diam saja pada saat kita tebek, yang gesit-gesit jelas tidak akan pernah kena tebek. Apalagi mereka yang terus menerus sembunyi di tempat-tempat yang sulit, di tengah-tengah padi, tebu-tebu, semak-semak misalnya. Mereka tetap hidup dan lestari sampai sesuatu terjadi atas mereka atas ijin Yang Maha Kuasa tentunya.

“ Dapat banyak pak, kutuknya ? “, tanya Pak Mu’in (penjaga tambak) menyadarkan saya dari lamunan.
“ Ohhh…Pak Mu’in… satupun tidak pak ! “, jawab saya setengah kaget dengan keberadaan Pak Mu’in yang tiba-tiba di samping saya.
“ Masak satu saja tidak bisa dapat pak, padahal pagi tadi nenggak-nenggak segitu banyak, mungkin  karena air banger ini barangkali, mereka sudah pada kenyang dengan udang-udang yang ngantang.”, kata Pak Mu’in.

Matahari mulai naik lebih tinggi, panasnya mulai terik menyengat pipi, saya ingin segera bergegas pulang, tetapi Mrs. Yellow Stone masih menunggu saya di sekitar itu, sepertinya menunggu untuk sesi pemotretan yang terakhir hari itu. Dan saya juga menunggu Pak Mu’in segera meninggalkan saya, supaya saya bisa lebih konsentrasi dengan Mrs. Yellow Stone tanpa gangguan Pak Mu’in di samping saya.




Entah mengapa saya paling suka dengan capung sebagai model photography saya, mungkin karena sifat predatornya, seperti halnya kutuk di tambak adalah predator yang saya sukai ketika mereka menyambar umpan yang saya mainkan. Selain itu juga karena raut muka dan ekspresi wajah capung yang bisa berubah-ubah, itu tampak sangat lucu, aneh dan menakjubkan menurut pandangan saya. 

Sama lucunya dengan Cak Pri yang suka tertawa lepas dengan bibirnya yang terbuka lebar, atau Cik Poo yang suka bicara ceplas-ceplos, tertawa terpingkal-pingkal hingga perutnya ikut naik turun dan harus dia pegangi saat tertawa.

Begitu ingat mereka berdua, tak sadar pikiranpun melayang-layang ke tokoh-tokoh Mancing Kutuk Gabus yang lain, Pakipunk, Aries Kontraktor, Dayat Kutuk, dan tokoh-tokoh lainnya, yang sudah lama absen dari trip,” apakah mereka sudah mendapat khabar tentang lomba  ? “ tanya saya dalam hati.

Tak sabar rasanya untuk segera bertemu dengan mereka semua itu pada saat lomba nanti, sambil beramah-tamah dan bernostalgia, sambil bersenda-gurau dan saling nggedabrus.

Memang benar, semua pemancing itu rata-rata suka nggedabrus, itu termasuk salah satu stereotip pemancing, terutama pemancing kutuk di Mancing Kutuk Gabus. Negatif kah ?

“ Uoooohhh.. tidak, biasanya orang yang nggedabrus itu,….belater….alias ramah dan mudah akrab. “ kata Cak Dikin.

Salam strike ……..mantaaaaab !

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus
 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda di blog kami, dengan senang hati, kami mempersilahkan Anda untuk memberikan masukan, saran, dan komentar.
Salam bahagia.