Minggu, 06 Oktober 2013

Lomba Mancing Kutuk - Ki Gendeng Kampiran

LOMBA MANCING KUTUK

Versi : Ki Gendeng Kampiran

Peserta Lomba Mancing Kutuk

“ Saya heran Mbah, kenapa selalu kita yang jadi sasaran, kenapa selalu kita yang jadi kurban ? “, tanya Guk Lawung kepada Mbah Wo, di tengah2 rapat akbar jalmo kutuk di Tambak Seloroh.

“ Lha wong pingin kumpul2 lagi, akrab2an lagi, kangen2an lagi sama konco2 ne kok malah kita yang mau dibuat bulan2an, itu terus piyeeeee........maunya itu ? “, sambung Guk Lawung menegaskan kejengkelannya.

Malam itu memang ada pertemuan mendadak para jalmo kutuk di perairan Tambak Seloroh, persisnya di depan tukuan ( pintu air yang menghubungkan kolam satu dengan kolam yang lain, sedangkan pintu air utama tambak, yaitu tempat masuknya aliran air sungai ke dalam tambak, biasa disebut orang “ laban “ ). Rapat dadakan itu dihadiri oleh seluruh kutuk yang ada di tambak itu, mulai dari gapuran2 (bayi2 kutuk), brinjilan2 kutuk (kutuk remaja), sampai para dedengkot dan sesepuh kutuk, yang pada musim ini dipimpin oleh Mbah Wo (mbah2ane kutuk).

Rapat kali ini memang tidak seperti pertemuan2 kutuk biasanya, seperti halnya jalmo menungso, ada semacam gab2 dan dinding pemisah antara golongan kutuk yang satu dengan golongan kutuk yang lain, mereka kurang bisa srawung. Misalnya saja, kalau yang ngadakan pertemuan itu golongan kutuk ningrat, tentu golongan lain tidak akan diundang, kalau toh terpaksa mengundang, itu hanya untuk abang2 lambe alias lip service, dan nantinya tetap saja akan diintimidasi pada saat pertemuan, demikian pula sebaliknya. Ada banyak golongan kutuk di Tambak Seloroh ini, yang keberadaannya terjadi sedemikian rupa dengan sendirinya, karena bermacam2 kepentingan, perbedaan pola pikir, perbedaan falsafah dan pandangan hidup, perbedaan pekerjaan, strata ekonomi dan status sosial, perbedaan gaya hidup dan hoby, dan perbedaan2 yang lain, sehingga terbentuk gab2 dan kisi2, yang memisahkan antara kelompok kutuk yang satu dengan lainnya. Ada kutuk golongan ningrat, ada kutuk golongan putihan, kutuk abangan, kutuk jetset, golongan proletar, golongan rea-reo dan lampoar, dan golongan lainnya. Kalau berdasarkan kesamaan hoby, ada kutuk dugem, kutuk ping pong, kutuk futsal,.......kutuk gaple, ...kutuk moge, dll. 

Namun pada pertemuan kali ini semua harus bersatu rapat barisan, mengingat betapa pentingnya masalah dan materi yang dibahas, menyangkut masa depan dan kelanggengan hidup kutuk2 di tempat itu, maka semua dan segala perbedaan golongan maupun kelompok itu, kali ini harus ditiadakan. Semua kutuk harus hadir dan tidak boleh tidak, untuk mendengar dan didengar, untuk partisipasi urun rembug, dan tidak akan ada intimidasi. Semua boleh usul dan boleh ngomong, yang penting masuk akal, “ sing penting nalar tur ora nggelambyar “ kata Mbah Wo.

Semula berawal dari informasi yang didapat oleh Mbah Ran, kepala intel kutuk yang sudah menjabat bertahun2 di wilayah itu, atas laporan dari Guk No, detektif swasta yang biasa merapat di pinggiran tambak dekat gubuknya Cak Buadi (pengelola tambak), untuk sengaja nguping dan mencari informasi dari orang2 yang biasa nongkrong dan ngobrol di gubuk itu. Mangkanya kutuk2 di situ selalu tahu, kapan tambak mau dikeringkan, kapan Cak Buadi mau buat pinian (tempat persemaian bibit ikan atau udang), kapan laban dibuka untuk membiarkan air sungai masuk, atau sebaliknya ditutup, dll informasi yang sangat penting bagi kutuk2 di situ untuk tetap survive mempertahankan hidup.

“ A..aanu...mohon ijin Mbah ...aanu..gawat Mbah ...ini benar2 gawat Mbah,..orang2 katanya mau ngadakan lomba di tambak ini ! “, lapor Guk No kepada Mbah Ran tersengal2.

“ Kamu ini ngomong apa....anu2..., ngomong yang jelas gitu lho,...saya hajar kamu,...ada lomba kok gawat,...apa hubungannya ?”, jawab Mbah Ran, dengan gayanya yang khas seperti biasanya, pensiunan tentara.

“ Mohon ijin Mbah......iya..anu Mbah...gawat,...masalahnya kita yang dilombakan,..eh anu bukan...kita yang jadi sasaran! “, lapor Guk No lagi.

“ Lomba apaan tuh..kok kita yang jadi sasaran ? “, tanya Mbah Ran, masih dengan gayanya yang khas.

“ Mohon ijin Mbah, anu..tadi saya lihat dan dengar sendiri dengan jelas, anu...Mbah...ada orang gemuk2 agak hitam2 gitu lo Mbah, anuuu... dia minta tolong Cak Buadi, katanya ...anu Mbah..mau minjam tambak kita ini untuk anuuu itu lho...lomba mancing kutuk, ini kan jelas ada hubungannya dengan kita to Mbah,..kita yang mau dipancing Mbah, rame2 lagi,....aanuuu...apa itu...masak masih kurang gawat Mbah ?”, kali ini agak detail Guk No menjelaskan, biar Mbah Ran bisa nalar.

Kenyataannya memang demikian, esok hari setelah persetujuan tentang rencana untuk meminjam pakai tambaknya Cacak-ne Teguh (Cak Buadi)  sebagai lokasi lomba, yaitu sehari setelah rapat dengan Abah Eric dan tim Mancing Kutuk Gabus, Teguh langsung meluncur ke tambak itu, untuk meminta ijin sekaligus sambang ke Cak Buadi, sebab memang sudah lama Teguh tidak pernah anjang sana ke Cak Buadi , sebagai saudara yang lebih muda.

Di gubuk tempat Cak Buadi biasa santai2 sambil mesem2 senang lihat ikan2 peliharaannya kecopak2 tumbuh terik berkembang besar dan kruwel2 kayak dawet Ponorogo saking buuanyaknya, itulah, Teguh matur dan mengutarakan maksud kedatangannya. Dan singkat cerita, Cak Buadi dengan senang hati mengijinkan apa yang diminta Abah Eric dan rekan2nya di tim Mancing Kutuk Gabus, untuk memakai tambak itu sebagai lokasi Lomba, Lomba Mancing Kutuk. Selain karena hanya kutuk yang dicari dan dilombakan, apalagi kutuk itu memang hama, meskipun ada harganya kalau bisa dikumpulkan, hitung2 juga sambil menitipkan Teguh, di Sekawan Anggun, tempat Teguh bekerja. Sebab Abah Eric kan termasuk orang yang disegani di sana. “ Kasihan juga tuh Teguh, cari kerja sekarang ini susah,  apalagi golek nyambik (biawak)  malah semakin susah.”, pikirnya sebagai saudara tua.

Semuanya itu ternyata terus dipantau dan diteropong oleh Guk No - mata2 kutuk, sambil terus ceprat-cepret mengambil gambar Teguh dan Cak Buadi untuk nanti melengkapi bukti dan laporan. Setelah itu Guk No ngebal meninggalkan rumput2 di pinggiran tambak sebelah gubuk, tanpa diketahui dua orang itu tadi, lalu pergi menemui Mbah Ran – kepala inteligen kutuk, untuk memberikan laporan.

“ Lho..lho..lho..kok ...dari lahir ceprot sampai jadi mbah2ane kutuk seperti sekarang, belum pernah ada yang namanya lomba mancing kutuk di tambak ini, di tambak2 lain pun saya juga belum pernah dengar, mungkin sak Indonesia pun rasanya juga belum pernah ya....kalau orang masang plumpatan, orang nyengget, orang nyetrum, orang2 nyegog,...orang2 yang perlu makan dengan menjual kita2 itu saya sering lihat, ...lha ini kok aneh2 saja,...lloo...lomba kok mancing kutuk....okey...kalau gitu cepat woro2, pakek mikrofon, kumpulkan semua warga ! “, perintah Mbah Ran kepada Guk No.

Tanpa buang waktu, Guk No segera nyarter bemo yang pakek halo2 untuk woro2  mengumpulkan semua warga kutuk di tambak itu. Mbah Ran sendiri segera menghadap Mbah Wo - sesepuh kutuk yang paling disegani di wilayah itu, mereka lalu menghubungi tokoh2 masyarakat kutuk lainnya, seperti Mbah Man, Mbah Tris, Lik Mun, Lik Kabul, Lik Mah, Lik Di, Om Gembuk, Mak Yah,  Bik Jum, Cak Gowang, Guk Lawung, dan masih banyak lagi pini sepuh lainnya, demikian juga pemuda2 karang taruna, antara lain Cak Bathang, Dodik, Freddy, Mat Ndomble, Mbak Ut, dll untuk segera mengadakan rapat bersama dengan seluruh warga kutuk yang ada di situ.

Malam itu rapat besar digelar, semuanya berkumpul di depan tukuan, tempat yang paling luas dan airnya juga lebih dalam, permukaannya bersih tanpa tanaman. Sengaja pilih tempat ini sekaligus karena semua warga kutuk di situ sudah lama kangen dan rindu pingin lihat wajah Mbah Wo di depan mimbar, rindu dengan gaya orasi Mbah Wo yang berapi2, kocak, meledak2 penuh semangat, hampir mirip dengan gayanya Mbah Ndasem Wit ringin – motivator kutuk tambak sebelah, Tambak Bangoan. Demikianlah, semua warga kutuk di situ hadir tanpa terkecuali, bahkan ibu2 yang lagi hamil, maupun yang sedang menyusui bayi, semuanya hadir, tidak boleh tidak,” kalau ndak hadir,....aaannnuu....push up ! “, begitu ancam Guk No.

“ Saudara2 sebangsa dan setanah-air, terima kasih atas kehadiran kalian semua. Kami para sesepuh kutuk di tambak Seloroh yang kita cintai bersama ini, menangkap adanya rencana2 busuk dari pihak2 luar, yaitu dari pihak2 yang menganggap dirinya memiliki budaya dan peradaban,  pihak2 yang menyatakan diri sebagai makhluk yang berkepribadian dan berperikemanusiaan, pihak2 yang mengklaim kita buas, sadis, brutal dan kanibal. Mereka2 ini dengan dalih keakraban, dan kebersamaan untuk mereka sendiri, hendak menjadikan kita obyek permainan dan perburuan, seperti yang telah diberitahukan kepada kami oleh Mbah Ran, sesepuh dan tokoh masyarakat yang selama ini telah sangat berjasa dan berguna untuk kesejahteraan, dan keselamatan kita semua. Untuk itu, sebelum kami memutuskan apa yang hendak kita lakukan bersama2 menghadapi situasi yang selamanya tidak akan pernah menguntungkan kita semua ini, kami harapkan pendapat dan masukan2 dari semua warga yang hadir di sini, terutama dari para dedengkot dan sesepuh, yang selama ini kami anggap sebagai saudara tua, lebih dari sekedar penasehat. “ sambutan Mbah Wo mengawali rapat, biasanya memang begitu, awalnya kelihatan serius namun belakangan  mblarah.

Guk Lawung yang sedari tadi sudah ngejer2 ndak kuat nahan, saking kepinginnya ngomong, apalagi di depan sana ada Mbak Yanti yang ketap-ketip kayak kutuk timbilen, langsung angkat tangan dan bicara,” Saya heran Mbah, kenapa selalu kita yang jadi sasaran, kenapa selalu kita yang jadi korban ? “.

“ Lha wong pingin kumpul2 lagi, akrab2an lagi, kangen2an lagi sama konco2 ne kok malah kita yang mau dibuat bulan2an, itu terus piyeeeee........maunya itu ? “, sambung Guk Lawung menegaskan kejengkelannya.

Kalau mau kita cermati, kita resapi dan renungkan secara mendalam, apa yang dikatakan Guk Lawung memang benar adanya (atau paling tidak ada benarnya). Bagi kita yang  punya hoby mancing, biasa mengisi waktu luang dengan acara mancing, semuanya itu hampir tidak pernah kita pikirkan, rasa senang seringkali mengalahkan segalanya. Setiap kali kita ingin menyenangkan diri, menghibur diri, menghabiskan waktu, atau mencari pelampiasan atas segala kegalauan, selalu saja mereka yang jadi obyek sasaran, menjadi kurban.

Sering kita jumpai, bermacam2 tulisan di facebook, contohnya,” Stress ngadepin pimpinan yang plin-plan,.....besok trip aja ahhh! “.

Ada lagi, “ asyik...ujian tinggal 2 x,...habis itu uncal..coy.....”.

Atau,” Ueeedan...cuaca benar2 mendukung, tinggal siapin alat2...terus maannntaaaabb !”.

Intinya, setiap ada waktu luang hiburannya - cari kutuk, lihat cuaca mendung – uber2 kutuk, cuaca cerah – juga nyawati kutuk, terus ribut sama isteri – ngejar2 kutuk, bokek ndak ada fulus buat susu anak – kutuk lagi yang jadi pelampiasan, tidak ada sedikitpun belas kasihan sama kutuk.  Semuanya adalah untuk kesenangan kita sendiri, demi kita sendiri, dan kita tidak pernah mempertimbangkan keberatan2 dan kerugian2 pihak lain, yang penting kita bisa senang dan terpuaskan.

Karena begitu senangnya kita mancing, demikian pula begitu senangnya kita bisa berkumpul dengan orang2 yang punya kesenangan sama dengan kita, berikutnya kita utak-atik merancang acara dan program2 yang kesemuanya itu adalah demi untuk kesenangan kita semata2, tanpa mempertimbangkan keberatan2 maupun kerugian2 pihak lain, dalam hal ini Guk Lawung beserta seluruh bangsanya. Mancing kutuk yang kita lakukan untuk mengisi waktu luang, untuk hiburan dan rekreasi, menghilangkan stress dan kepenatan setelah bekerja atau berpikir terlalu keras, sebagai pelampiasan atas masalah dan kegalauan pikiran, atau dengan berbagai macam alasan lainnya, semuanya itu intinya adalah untuk kesenangan, kepuasan, maupun kesembuhan diri kita sendiri, bahkan sekalipun dengan alasan untuk nafkah mencari makan, bukankah tetap saja  kutuk2 itu yang dirugikan dan tentu saja menjadi kurban. Marilah kita pikirkan bersama, sudah adil-kah yang seperti demikian ?. Ataukah memang di atas bumi ini, yang adalah tempatnya rantai makanan, itu sudah menjadi kewajaran, dan semuanya itu harus berjalan demikian ? Bukankah di bumi ini, kita yang tidak akan pernah bisa menciptakan dan mengadakan, sebenarnya diberi amanah untuk merawat dan melestarikan.

Karena itu jangan heran, kalau para pemimpin dan politisi kumpul2, terus utak-atik bikin acara, hasilnya tetap saja kita2 yang nanggung dan menjadi kurban, bukankah mereka juga nuruti kesenangan dan hoby, senang dan hoby duduk di kursi – lupa amanah.

Lho...mblarah.

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus


Narasumber : Ki Gendeng Kampiran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda di blog kami, dengan senang hati, kami mempersilahkan Anda untuk memberikan masukan, saran, dan komentar.
Salam bahagia.