Tampilkan postingan dengan label Joke. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Joke. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Desember 2013

Trip Sabtu dan Minggu

Trip Sabtu dan Minggu


Nonton Cak Nis dadak ganggang
Sabtu, 30 Nopember 2013

Masih penasaran dengan banyaknya tenggakan yang ada di tambak Rangkah, saya memutuskan untuk kembali trip ke sana, Cik Poo dan Cak Kliwon ikut serta, malahan mereka sudah tiba lebih dulu sebelum saya. Sesampainya di lokasi, saya disambut Cak Danis, yang lagi marah-marah karena beberapa masalah, pertama tentang pintu pagar yang rusak, entah kenapa, yang jelas bukan karena tim Mancing Kutuk Gabus. Yang lebih utama lagi adalah karena morat-maritnya ganggang yang kemarin sudah ditata rapi, karena diterjang angin, sorenya. 

“ Lha opo Kang kok ngomel-ngomel dhewe ? “, tanya saya.
“ Waduh Oooom, punggung rasa pegalnya belum hilang karena dadak ganggang kemarin pagi, ehh sorenya diterjang angin lagi, lihat…morat-marit lagi seperti itu. “, jawab Cak Nis.
“ Memang waktunya angin Kang, mestinya ditancapi tonggak-tonggak biar tidak geser kalau angin ! “, saya coba memberi saran.
“ Sampeyan itu gimana, yo sudah Om, tetap gak kuat, tonggaknya rubuh semua, angin segitu lamanya, lama-lama ya rubuh Om. “, jawab Cak Nis.
“ Kutuk-kutuk’e pancet nenggak-nenggak Kang ? “, tanya saya.
“ Tetap, lha itu bolo-bolo sampeyan mancing di kedok lor (kolam utara), sampeyan coba ke sana lho !“, jawab Cak Nis.

Saya tidak menuruti Cak Nis untuk nyusul teman-teman di kedok lor, tetapi saya casting di sekitaran gubuk, sambil ngobrol dengan Cak Nis. Kurang lebih dua puluh kali lemparan saya berhenti, stick pancing saya sandarkan di gubuk, saya mengeluarkan kamera, mengutak-atik fiture-fiturenya, dan sesekali saya jepretkan ke sembarang sasaran, saya lihat hasilnya, lalu saya hapus lagi, begitu berulang-kali. Mendengar Cak Nis berkeluh kesah tentang bagaimana susahnya merawat dan mengatur tambak membuat gairah mancing saya drop, hati ini terasa iba mendengarnya. Apalagi melihat kondisi air yang tetap saja banger seperti hari-hari sebelumnya, ditambah lagi dengan kacau balaunya ganggang akibat angin kemarin sore, percil saya berkali-kali nyangkut dan kebungkus ganggang.

Cik Poo dan Cak Kliwon casting  di kedok sebelah utara, meski jauh tapi tetap kelihatan dari gubuk, tampaknya mereka cuma melempar-lempar terus, tidak pernah kelihatan strike. Saya tetap bermain-main dengan kamera, ada satu gambar yang saya biarkan tetap tersimpan, tidak saya hapus, ini :


Telur Keong Mas

“ Cak Nis, sampeyan ndak dadak ganggang lagi to ? “, tanya saya kepada Cak Nis.
“ Iyo Om, sebentar lagi….airnya masih dingin, siangan dikit, biar tidak kedinginan, ada apa to ? Sampeyan kalau mau mancing monggo ! “, jawabnya.
“ Sampeyan dadak Cak Nis, saya photo ! “, kata saya.
“ Sampeyan iku lak uonok-onok wae Ooom ! “, jawab Cak Nis.

Beberapa saat kemudian Cak Nis beranjak meninggalkan saya, untuk mulai dadak ganggang, saya pun segera menyiapkan kamera. “ Duh Gusti, segini morat-maritnya saya kerjakan sendiri, yok opo carane?”, keluh Cak Nis lagi, saat mulai mencelupkan kakinya ke tambak. 


Cak Danis mulai dadak ganggang

Berikutnya Cak Nis mulai ndadaki ganggang, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu, pertanda ahli di bidangnya, beberapa kali saya jepret dengan kamera, dia tertawa dan sesekali beracting juga.


Cekatan dan tanpa ragu-ragu


" Wah podo karo latihane tai chi master Cak Nis, yo ha....haa..haa ? ", gurau saya.


Tai chi sambil dadak ganggang

" Sampeyan Ooom, guyon thok ora mbantu, melu nyemplung rene lho...haa..haa.ha ! ", jawab Cak Nis.
" Sepurane Cak Nis, aku yo ndak kuat adem kok,...lha.la..iku jurus tai chi nomer piro Cak Nis, haa...haa..haa ? ", gurau saya lagi.


Cak Danis " cekatan "


" Sehabis didadaki begini, besok kutuknya mudah-mudahan mau ngondhol Om, coba besok sampeyan mancing lagi ke sini ! ", kata Cak Nis.


Singkat cerita, trip hari ini tentang kutuk saya galau, tetapi saya sangat senang bisa bersenda-gurau dengan Cak Nis, bisa menghibur Cak Nis, dan bisa menemani dan menyemangati Cak Nis melawan morat-maritnya ganggang yang harus diaturnya sendirian. 

Lagi di tambaknya Cak Wajib
Trip Minggu, 1 Desember 2013

Seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya, pagi ini saya, Cik Poo, dan Cak Kliwon trip ke tambak yang dikelola oleh Cak Wajib, pesertanya tambah satu orang lagi, Narso Tofa. Malamnya dia sms saya, yang isinya, bla…bla…bla..tidak masuk akal semua. Pakai nomer im3 yang baru untuk menyamarkan, tetapi saya tetap tahu ini pasti dari dia, sesuai kebiasaannya.

Saya balas dengan singkat “ opo ! “.
Dia sms lagi “ besok pagi ke mana, boleh ikut nggak, bolomu sing elek iki ? “,
Saya jawab lagi lewat sms pula, “ boleh, tapi ojo ngisin-ngisini ! “
“ Ora –ora ! “, tulisnya.
“ Yo wis nek ngono, meluoo ! “, tulis saya lagi.
“ Nok endi ? “, tulisnya lagi.
“ Wis ta la ! “, jawab saya.

Begitulah, paginya kita semua trip berempat di tambak Rangkah, tambak yang dijaga dan dikelola oleh Cak Wajib, yaitu saya, Cik Poo, Cak Kliwon, dan sahabat lama saya yang sekarang berdomisili di Krian - Sidoarjo, Narso Tofa.

Namanya juga pemancing lawas, apalagi mantan tukang sengget, haa…..haa…haa, tiga kali lemparan langsung strike.


Narso Tofa
“ Lha kalau begini ini namanya ndak ngisin-ngisini…haa…haa ! “, gurau saya.


Narso Tofa masih bisa


Selang beberapa saat kemudian Cik Poo strike juga, yang istimewa kali ini yang naik monster ( kutuk di tambak dengan berat lebih dari 1 kg, kami sebut monster, seperti yang pernah ditulis oleh sodikin tentang berburu monster ).


Cik Poo Strike monster 1,2 kg

Ini adalah hari kedua Cik Poo gabung kembali dengan acaranya Mancing Kutuk Gabus, setelah sekian waktu absen dari trip, karena sibuk kerja di Pamekasan – Madura, musim tembakau beberapa waktu yang lalu. Cik Poo memang kerja dibidang itu.


Cik Poo strike monster di tripnya yang kedua (trip musim hujan tahun ini)


Meskipun tak ada yang monster, Cak Kliwon tetap omset pagi ini, cuma saya satu-satunya peserta yang tetap saja galau seperti kemarin, tetapi tidak masalah, yang penting hati ini tetap senang dan terhibur, dan tidak merasa galau. " Dan yang penting lagi tetap dapat gambaarrrrr, huooo...hoo...hoo ! ", kata Cik Poo.

“ Terus sekarang siapa yang ngisin-ngisini, hee ? “, tanya Cak Tofa di depan saya, Cik Poo, dan Cak Kliwon. 
" Biasa Nar, lakon iku kalah ngarep menang mburi,....haa....haaa..ha ! ", jawab saya.

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus


Selasa, 26 November 2013

Mancing Melatih Kesabaran - Ki Gendeng Kampiran

Mancing Melatih Kesabaran
-Versi : Ki Gendeng Kampiran –

Hari itu Minggu, 24 Nopember 2013, kami trip ber-tiga di tambak yang dijaga dan dikelola oleh Cak Wajib, pesertanya adalah saya, Cak Kliwon, dan Cak Pri. Seperti yang sudah kami perkirakan sebelumnya, hari itu kami bertiga lumayan sukses dengan omset kami pagi itu, semuanya omset. Ini semua berkat informasi yang saya dapat dari Cak Benu, tukang sengget yang biasa belanja di tempat saya. Saya sudah buktikan berkali-kali, informasi dari dia hampir selalu joss, kalau toh dulu pernah meleset, itu karena saya sendiri yang salah, terlambat waktunya, sudah di trip berkali-kali oleh rekan-rekan pemancing kutuk yang lain, saya dan teman-teman baru datang sesudahnya.

Hari itu kami lumayan omzet, saya dan Cak Kliwon kurang lebih sama, masing-masing dapat lebih dari 10 ekor, masing-masing 5 kiloan kira-kira, dan Cak Pri yang agak terlambat menemukan spotnya juga masih bisa dapat kurang lebih 3 kiloan. Sorenya saya dan Cak Kliwon kembali lagi ke sana, dan saya masih dapat 6 ekor (kira-kira 2,5 kg), Cak Kliwon pun dapat, tapi entah dapat berapa saya tidak tahu, karena kita pulangnya tergesa-gesa, malam hari di tambak, nyamuknya luar biasa.

Sebenarnya tidak ada hal-hal yang menarik untuk diceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi di seputar kegiatan mancing hari itu, karena tidak ada monster kutuk yang naik, padahal sebenarnya di sana ada banyak tenggakan-tenggakan yang ekstrim, tenggakan monster. Yang menarik untuk kami ceritakan  adalah pertemuan kami dengan sahabat lama saya, Ki Gendeng Kampiran (nama samaran / sebutan dari kami untuk orang-orang yang punya pemikiran nyentrik dan nyeleneh di dunia Mancing Kutuk Gabus ), di warung sego-sambel Cak Paidi, pinggir jembatan, jalan raya lingkar timur Sidoarjo, saat kami mampir makan sepulang dari trip pagi itu.  Yaitu tentang falsafah, pemikiran dan pandangan beliau tentang kegiatan kami mancing, pada saat kami ngobrol dengan beliau, sembari kami makan dan ngopi.

“ Hallo Mbah ! “, sapa saya kepada beliau, saat beliau sedang larut dengan rokok kreteknya. Rupanya beliau baru saja selesai makan, piring kosong dengan sisa sambel yang masih banyak, tergeletak di atas meja, di depan tempat duduknya.

“ Hueee…hallo …tumben...dari mana sampeyan itu, monggo….pinarak ! “, balas beliau dengan akrab.

Kami bertiga lalu menyalami Ki Gendeng Kampiran, dan menyalami Cak Paidi, “ piye khabare Kang, rame ta ? “, sapa saya kepada Cak Paidi, pemilik warung sego-sambel, yang asal aslinya sama dengan saya.

“ Apik-apik wae Kang, isuk mau lumayan rame, waktunya orang berangkat mancing, sekarang ya tetap rame, ada Mbah iki opo…..haa…haa…haa ! “, jawab Cak Paidi, dengan logat ndeso, khas cah Bojonegoro. “Kang Har sak bolo-bolone iki nek mangan mesti ke sini Mbah, kadang bareng-bareng orang banyak, sampai tempatnya gak muat “, kata Cak Paidi kepada Ki Gendeng Kampiran, sambil menyiapkan kopi dan sego sambel untuk kami, tanpa kami pesan.

“ Sampeyan itu lho dik, kok hoby sekali mancing, tiap ketemu sampeyan kok mesti bilang dari pulang mancing, kalau nggak gitu ya  mau berangkat mancing ?”, kata Ki Gendeng kepada kami.

“ Iya Mbah, namanya juga hoby, refressing Mbah, ngilangno stress ! “, jawab Cak Pri.

“ Stress kok tiap hari, masak tiap hari stress, hee.he.he.. ? “, lanjut Ki Gendeng Kampiran.

“ Nggih mboten Mbah, hiburan Mbah,…cari hiburan yang murah meriah, mau hiburan lain sayang duwitnya Mbah, mending buat mbayar anak-anak sekolah, lak iya to Mbah ? “, jawab Cak Pri.

“ Iyo mesti toh, piye oleh ta..he..he..he ? ” , tanya Ki Gendeng Kampiran dengan ketawanya yang khas.

“ Oooh jangan tanya Mbah…orang-orang ini geng kutuk Mbah,.. kalau mancing setengahnya sandang pangan…haa…haa…haa..sorry lho Kang…kalau kadung dapat bisa sakpirang-pirang ! “, Cak Paidi ikut nimbrung, sambil terus menyiapkan makanan, sebentar lagi semuanya siap disajikan.  

“ He…hee..he.. masak toh, kalau mesti dapat sak pirang-pirang, kapan-kapan aku tak ikut….he…hee..he..! “, kata Ki Gendeng Kampiran, sambil terkekeh ngejek, setengah tak percaya.

Berikutnya kami bertiga menikmati sego sambel yang disajikan oleh Cak Paidi, Ki Gendeng Kampiran dan Cak Paidi menemani kami, mereka berdua ngobrol tentang mancing kutuk ala cara kami. Dengan detail Cak Paidi menceritakan segala sesuatu tentang cara mancing kutuk teknik casting umpan percil, yang selama ini kami terapkan, Ki Gendeng Kampiran mendengarkan sambil  bertanya ini dan itu, kami bertiga asyik dengan sego sambel kami masing-masing, sambil sekali-sekali meng-iyakan cerita Cak Paidi. 

Sego sambel Cak Paidi memang maknyus menurut ukuran lidah kami, asin, pedas, manis, dan gurihnya terkomposisi dengan serasi, sesuai dengan selera kami, terutama untuk saya, yang berasal dari daerah yang  sama dengan penjualnya. Makan nasi sambel di sini, seperti makan nasi sambel olahan Ibu saya di rumah.

Padahal yang saya makan cuma nasi, plus sambel, telur goreng, tempe goreng, dan kubis mentah, itu saja yang di piring saya, tapi nikmatnya luar biasa. Saya yakin Cak Kliwon dan Cak Pri merasakan hal yang sama dengan saya, melihat begitu lahapnya mereka makan, apalagi Cak Pri, berkali-kali tampak dia menyeka mukanya yang basah oleh keringat. “ Muantaabbb Kang…sambelnya ! “, katanya.  

“ Sampeyan sudah berapa hari Kang, ndak makan …,ha..ha..ha...? “, gurau Cak Kliwon kepada Cak Pri.

“ Bahhh….! “, jawab Cak Pri kethus dan singkat.

Begitulah nikmatnya makan saat perut kita memang benar-benar lapar, makan dengan seadanya,  tepat pada waktunya, murah meriah tetapi nikmat, saking nikmatnya sampai kami sudah tak peduli lagi dengan obrolan Cak Paidi dan Ki Gendeng Kampiran.

Namun tak lama kemudian,  kami jadi nimbrung lagi dengan  mereka, saat mendengar obrolan mereka yang akhirnya mulai berubah menjadi debat, dan adu argumentasi. Ki Gendeng Kampiran protes, saat suatu ketika Cak Paidi berkata demikian, “ Mancing itu melatih kesabaran ! “.

Pandangan Ki Gendeng Kampiran

“ Wah ini, yang saya tidak bisa terima, mancing kok melatih kesabaran, kalau memang benar mancing itu bisa membuat orang jadi sabar, kita semua tidak usah belajar dan berguru jauh-jauh, mancing terus saja, biar sabarnya puol-polan, ya toh ! “, kata Ki Gendeng Kampiran.

“ Lho, kita ini termasuk orang sabar lho Mbah, orang neriman...haa..haa..haa ! “, gurau saya menyela Ki Gendeng Kampiran.

“ He...he..he...kalau nggak nerimo, terus mau protes sama siapa...he..he “, jawab Ki Gendeng Kampiran.

“ Mancing melatih kesabaran itu cuma tembung sanepo, tahu nggak sanepo, sanepo itu bisa berupa perlambang, bisa berupa peribahasa, bisa berupa sindiran halus, bisa juga nubuatan untuk hal-hal yang belum terjadi, bisa tembung kosok-bali (lawan kata), dan lain-lain. Contohnya seperti orang yang mudah lupa, terus dibilang karena kebanyakan makan brutu (maaf = anus ayam), ayam yang mana he...he..he. Ayo to kita kupas satu persatu, apa itu mancing, dan apa itu artinya sabar, terus kita hubungkan, nyambung nggak kira-kira nanti ? “ lanjut Ki Gendeng Kampiran.

Mancing menurut Ki Gendeng Kampiran

Mancing itu asal muasalnya dari kata pancing, sampeyan semua tahu kan bentuknya seperti apa, “ngganthol “, yaitu alat yang dipakai untuk mengangkat dan mengeluarkan benda-benda, baik yang tampak maupun yang terjepit dan tersembunyi, dengan cara menusuk lalu mencongkel supaya terkait dan bisa diangkat naik /  keluar. Terus diberi awalan me, menjadi kata kerja, dan huruf depannya “p” lebur supaya enak disebutkan, menjadi kata “memancing”, lalu biar ringkas, disingkat lagi tanpa awalan menjadi “mancing”, he..he...he biarpun tua begini, jangan dikira Mbah ini ndak mambu sekolah...he..he..he “, kata Ki Gendeng Kampiran dengan gaya seperti orang-orang terpelajar. Karena nggak ngerti, kami pun diam semuanya mendengarkan, saya pribadi mulai  tertarik dengan apa yang beliau katakan.

“ Dalam perkembangannya, mancing itu bisa dihubungkan dengan berbagai macam kata, yang mana filosofi dari kata mancing itu sendiri,  nantinya tetap hampir-hampir serupa / ekuivalen, contohnya ; mancing ikan, mancing pembicaraan, mancing perkara, mancing berita (rahasia), mancing konde...hee..he..he, jangan terlalu serius gitu toh.  Ayo diperhatikan, filosofinya kan hampir sama, memberi susuatu, umpan maksudnya, supaya keluar kata-kata, supaya muncul perkara, supaya makan ikannya, supaya mau keluar dari persembunyiannya, he..he..he.. iya toh ! Jadi yang namanya mancing itu mesti perlu ada umpan, atau iming-iming supaya berhasil, perlu ada sesuatu untuk menarik perhatian obyek yang dipancing, supaya bisa mendapatkan apa yang diinginkan oleh subyek yang memancing, iya kan. Itu namanya ngakali, akal-akalan, benar nggak...he..he...he ! Kalau sampeyan bilang mancing itu untuk melatih diri supaya cerdik, supaya tangkas, supaya taktis, saya okey...he..he.he “, sambung Ki Gendeng Kampiran .

“ Mancing konde itu apa to Mbah ? “, tanya Cak Pri.

“ Hee...he..he sampeyan itu ternyata ya nyimak to, tak pikir tadi itu diam terus karena gak nalar, he..hee...he “, jawab Ki Gendeng Kampiran.

“ Lha terus kalau sabar Mbah, penjelasannya bagaimana ? “, desak saya kepada Ki Gendeng Kampiran, supaya terus melanjutkan wejangan.


Sabar menurut Ki Gendeng Kampiran

“ Sampeyan belum terima undangan to, ..he..he..he...Sabar tempo hari kan wis mari lamaran...he..hee...he. Katanya mancing untuk melatih kesabaran kok ya tetap belum tahu apa itu sabar...hee..he...he..berarti sampeyan mancing tiap hari itu muspro, alias percum-tak-bergun...he...hee..he.  Sabar itu adalah keadaan atau sifat seseorang dengan hati yang penuh dengan kerelaan, hati yang ikhlas, hati yang pemaaf dan tidak pendendam, penuh kasih, dan penuh dengan rasa syukur. Sabar itu tidak mudah marah, bisa mengendalikan diri, dan sanggup menahan dan memerangi hawa nafsu. Dia tidak sombong, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, juga tidak bersuka-cita atas penderitaan dan cela orang lain. Hee...hee...he...sabar itu ndak gampang saudara..he...he...he. Saya dan sampeyan semua ini masih jauh dari kata sabar...hee..hee...he !  Orang cuma lihat stick ndingkluk-ndingkluk saja kok sudah melatih kesabaran...hee...hee..he ! “.

“ Sampeyan tak ajak ngomong kayak begini cocok nggak, maaf lho ya, tersinggung nggak...he..he..he ?”, tanya Ki Gendeng Kampiran kepada kami.

Cak Paidi mulai membereskan piring-piring dan gelas kosong yang terserak di meja kami, sambil senyum-senyum dia menjawab, “ Nggih mboten Mbah...begitu saja kok tersinggung, iya malah senang to Mbah, dapat pencerahan, iyo Kang ? “.

“ He’ee ! “, jawab saya.

“  Lha terus, supoyo sabar, yok nopo carane Mbah ? “, tanya Cak Paidi, sambil ngelap-ngelap meja supaya bersih.

“ Wah... nek dipancing terus begini bisa duduk di sini sampai nanti sore...he..he..he...dik Har ndak pulang-pulang, selak ditunggu nyonyaeee...hee..hee..he. Wis dik Har, lhang mulih...hee.hhe..he ! “, kata Ki Gendeng Kampiran kepada saya.

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus


Sabtu, 19 Oktober 2013

Seandainya

Berandai-andai 




Menurut Cak Sul, berandai-andai adalah salah satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mengkreasikan daya pikirnya, sebagai anugerah Tuhan yang paling istimewa, dibanding dengan makhluk bumi lainnya. 

Berandai-andai dipakai sebagai alat untuk menciptakan sesuatu, untuk menyelesaikan sesuatu, untuk merencanakan sesuatu, untuk menghasilkan ide-ide brillian, untuk menghibur diri, untuk menutupi rasa minder, malu dan sebagainya, untuk memuaskan batin dan bermacam-macam kreasi daya pikir lainnya. 

Ketika berandai-andai orang bisa tersenyum dan tertawa, sebaliknya bisa juga sedih lalu ketakutan sendiri. Konon ada orang yang berandai-andai lalu tiba-tiba semaput. Pingsan gara-gara membayangkan anak perempuannya kerja di perantauan. “ Ini kisah nyata !”, kata Cak Sul.

Kadangkala setelah berandai-andai, kita jadi makin optimis yakin, kemudian muncul semangat baru yang membara di hati kita. Namun sebaliknya tak jarang, setelah berandai-andai kita jadi makin pesimis, kecut hati dan berkepanjangan, berikutnya masuk UGD. “ Ini serius, dan kisah nyata”, kata Cak Sul lagi.

Kadang setelah berandai-andai, membayangkan sesuatu yang belum tentu ada, atau belum tentu terjadi, para isteri menjadi makin sayang sama suami. Tetapi adapula sebaliknya, justru setelah berandai-andai, tanpa sebab yang jelas, jadi muncul benci sama suami, lalu marah-marah sendiri, bikin gara-gara, berikutnya anak-anak jadi sasaran pelampiasan. Lagi-lagi,” ini fakta, dan kisah nyata ”, kata Cak Sul.

Adalagi yang karena saking seringnya nonton sinetron, lalu terobsesi dengan tokoh yang diperankan sang Artis, berikutnya berandai-andai, lalu sehari-hari berlagak menjadi seperti, “ haa...haaa..ha! “, tawa Cak Sul.

Sambil terus mendengarkan Cak Sul, saya pun jadi ngelamun dan ikutan berandai-andai, pertama-tama tentang masa depan saya, isteri saya, lalu anak-anak saya tentunya. Saya membayangkan bagaimana hidup ini, kalau nanti saya sudah tua, kalau tiba-tiba ajal datang menjemput, sedangkan anak-anak saya masih kecil dan butuh biaya. Benar apa kata Cak Sul, tiba-tiba ada kesedihan dan rasa takut, muncul di hati saya. Kesedihan dan ketakutan dari diri sendiri, yang muncul karena pikiran saya sendiri, hanya karena membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Lalu saya teringat akan Tuhan, biarlah terjadi apa kata Tuhan, semuanya saya pasrahkan kepada Tuhan. Plass, rasa sedih itu tiba-tiba hilang, hati terasa lega kembali, saya bersyukur, ajaiblah Tuhan.

Cak Sul terus bercerita, dia pikir saya diam mendengarkan, padahal pikiran saya melayang lagi, dan berandai-andai terus, memikirkan tentang apa yang belum terjadi, memikirkan tentang seandainya ini, seandainya itu, lalu seandainya ini dan itu, seandainya, seandainya, dan seandainya. Lagi-lagi benar memang apa kata Cak Sul, hati ini seperti saya kocak sendiri, kadang muncul rasa senang, kadang terasa geli sendiri, kadang susah sendiri, kadang bisa ngeri memikirkannya, lalu saya segera sadar saat memikirkan Cak Sul, memikirkan seandainya Cak Sul berbuat demikian kepada saya, pikiran saya tiba-tiba ingin marah kepada Cak Sul. Untunglah Cak Sul menepuk bahu saya, kami berdua saling pandang, Cak Sul baru tahu kalau saya sebenarnya lagi ngelamun, padahal sejak tadi dia terus bercerita, dan saya benar-benar sudah tidak bisa mengikuti apa yang dia ceritakan. Ternyata memang segala rasa itu, senang, bahagia, sedih dan susah, itu hanyalah hasil rekayasa pikiran saya belaka. 

Tak terasa sudah setengah jam saya nongkrong berdua dengan Cak Sul di Pos Sekawan Anggun, Posnya Mancing Kutuk Gabus, Cak Sul yang terus bercerita, dan saya mendengarkannya sambil berkali-kali ngelamun. Berikutnya saya membayangkan tentang hal-hal yang sudah lampau, tentang masa kecil saya, tentang teman-teman saya waktu SMA, lalu waktu SMP, SD, dan terus melayang sampai ke zaman-zaman dahulu kala. Lalu melayang lagi tentang para filosof-filofof yang hidup di zaman dahulu, tentang para penemu-penemu, tentang roket, tentang computer, tentang klonning, dan terus mblarah ke mana-mana. Akhirnya saya berani menyimpulkan, seandainya dari dulu sampai sekarang tidak ada orang yang mau dan senang berandai-andai membayangkan, tentunya sampai saat ini kita akan terus hidup secara purba, tanpa listrik, tanpa TV, mungkin juga tanpa sikat gigi dan tanpa odol. Luar biasa, ternyata berandai-andai banyak gunanya. Lalu saya menoleh ke Cak Sul lagi, kami berdua saling pandang, “ ngelamun lagi ya....ha..haa..ha ?”, tanya Cak Sul kepada saya.

Itulah hebatnya otak kita, begitu jauh, dalam dan hampir-hampir tak terduga isinya, seperti kata Cak Sul, “ Karunia dari Tuhan, yang luar biasa “. Tapi kalau ngomong yang begini terus, lama-lama ngantuk dan bosan juga, untungnya sejurus kemudian peserta nongkrongnya tambah, Cak Dikin datang begabung, sesaat kemudian Cak Martin. “ Wis..wis Cak Sul.., cerita kutuk saja lo Cak Sul, cerita gituan itu berat, malah bikin ngantuk,… gimana..kopinya tambah ta? “, sela Cak Martin. 

Berikutnya alur cerita di Pos Mancing Kutuk Gabus itu bergulir ke masalah kutuk, seperti biasa Cak Martin suka mengulang-ulang kembali cerita lama, cerita tentang sepak-terjangnya di masa lampau, di rawa-rawa, di tambak-tambak, di sungai-sungai, di laut, di mana-mana. Cerita tentang monster-monster yang pernah ditakhlukannya, tentang berapa banyak reel pancing yang sudah dihancurkannya, tentang merk-merk senar yang pernah dia pakai, dan sebagainya. Semuanya jadi bergairah mendengarkan, termasuk saya juga, padahal sudah sejak tadi saya single mendengarkan Cak Sul. Saya pikir ini perlu tambah kopi lagi buat doping, lalu saya minta ke Pak Sambun.

” Kopinya masih ada Pak Mbun ? ”, pinta saya ke Pak Sambun, karena memang saat itu giliran jaganya Pak Mbun. 

Malam mulai terasa dingin, semilir angin mulai bikin tulang-tulang saya terasa ngilu, tak terhitung berapa kali saya bersin-bersin, badan terasa nggereges semua, saya lagi terserang flu. Sebenarnya saya ingin pamit pulang dan segera tidur, tapi dalam hati berat meninggalkan mereka, lagian cerita tentang mancing kutuk, saya sangat suka. Apalagi kalau yang cerita itu tokoh idola saya, biar diulang-ulang berapa kalipun, saya tetap tertib dan senantiasa khidmat mendengarkan.

Cak Martin terus saja cerita, urut dan rinci seperti yang dulu-dulu itu, mulai dari Gresik, Lamongan, lalu balik ke Surabaya. Pindah lagi tentang mancing di Jakarta, terus Medan, lompat ke Papua. Berikutnya Rawa Pening, lalu Jogja, Semarang, balik lagi ke Sidoarjo, ini seperti trayeknya travel atau bus antar kota, ada nggak ya. 

Akhirnya sampailah pada cerita tentang Trip di Pulau Mandar, seberangnya Tambak Klampis. Waktu itu trip Mancing Kutuk Gabus naik perahu ke Pulau Mandar. Pesertanya Cak Martin, Cik Poo, Anwar Kakak, Ryan Kacong, Christian dan termasuk saya. Semuanya rata-rata puas dengan omzet perolehannya, meskipun masih belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, kecuali Tokoh kita ini sendiri.

Saat cerita tentang Pulau Mandar itulah Cak Dikin tanya,” katanya Sampeyan di sana galau Cak ? “ 

Jawab Cak Martin,” Uoooohhh..., seandainya yang saya hajar terus dengan lemparan itu dulu kena, semua yang didapat teman-teman itu tidak ada apa-apanya, beneran, mungkin saja itu bisa jadi rekor saya tahun ini “. 

“ Huaaaa...haaa...haaaaa ! “, semua yang ada di Pos tertawa.

Lalu sambil masih terkekeh-kekeh Cak Dikin cerita, “ Seandainya yang diomong Pakde Sengat itu benar, bahwa semua tanah dekat-dekat bandara Juanda itu benar-benar miliknya, kekhh..kekhh...ha..ha..kita semua ini kaya raya....haa...ha..ha. Soalnya semuanya katanya mau dibagi-bagi dan serti-pikatnya mau dibalik nama atas kita semua masing-masing,...kekh...kkek..haa...ha.haa ! “.

“ Huaaa....haaa...haaaaa ! “, semua orang tertawa terbahak-bahak. 

Kalau sudah jadi seru begini, saya malahan tidak jadi kepingin pulang, ini yang saya cari, kumpul-kumpul sambil tertawa bebas, membuat pikiran saya senang, fresh dan terasa muda terus, lupa hutang-hutang dan tunggakan rekening yang belum saya bayar. 

Tapi lalu saya jadi berandai-andai lagi memikirkan Pak Sengat, kenapa kok dia juga berandai-andai tentang tanah di sekitar Juanda ya. Mungkin saja, dengan begitu dia bisa merasakan, rasanya jadi tuan tanah, bisa meninggalkan banyak warisan kepada kita, teman-teman nongkrongnya, lalu terhibur dan senang. Yah..maklum orang sudah tua. 

Berpikir tentang orang tua, saya jadi ingat Ayah saya (almarhum) dan Kakek saya (almarhum). Tentang Kakek saya itu, saya malah belum pernah tahu wajahnya, karena beliau sudah lama meninggal, jauh sebelum saya lahir. Aneh kan ? Saya bisa membayangkan bagaimana beliau itu, karena berkali-kali dapat cerita tentang beliau itu dari almarhum Ayah saya. Terutama cerita tentang Pohon Mangga di sebelah rumah, yang ditanam Kakek saya. 

Pohon Mangga di sebelah rumah 

Di sebelah rumah saya, di desa tentunya, ada pohon mangga, tumbuh besar sekali, tinggi sekali, dan rimbun sekali. Begitu suburnya pohon itu, sampai rumput-rumput pun tidak mau tumbuh di bawahnya, sehingga bawahnya bersih dan teduh, setiap hari jadi tempat bermain saya dan teman-teman saya semasa kecil dulu. Main kelereng, main petak umpet, main lompat tali, main ayun-ayunan, dan main apa saja sesuka kami, karena di sana benar-benar nyaman. 

Karena tinggi dan rimbunnya cabang-cabang pohon itu, bermacam-macam burung suka bertengger dan bersarang di sana. Hampir setiap saat kita bisa mendengar kicauannya. Saya masih ingat sekali, ketika Ibu saya sering menirukan kicauannya itu untuk menidurkan saya dan adik saya di waktu siang,“ cit...ciit..ciiiit......thirrrrrrrr ! “, begitu Ibu saya biasa menirukannya. 

Yang lebih istimewa, adalah ketika lagi musim, pohon itu begitu banyak buahnya, dan buahnya pun lebih manis dibanding pohon-pohon mangga lainnya, yang memang ada banyak di halaman rumah masa kecil saya. 

Di desa, hampir semua orang punya pekarangan yang luas, demikian juga hampir semua orang punya tanaman pohon mangga, tetapi tetap saja tetangga-tetangga di sana, ikut memetik dan merasakan buah dari pohon mangga yang di sebelah rumah itu. Mereka dan anak-anak mereka, karena memang hidup di desa, semuanya seperti saudara. Anehnya, pada musim mangga berakhir, hanya pohon itu saja yang masih ada buahnya, sedang yang lainnya habis oleh saya dan teman-teman saya. Mungkin karena pohon itu yang paling tinggi tumbuhnya, sedangkan yang lain jauh lebih rendah dan sedikit buahnya. 

Kata Ayah saya, itu adalah pohon kenang-kenangan dan tinggalan yang terakhir dari Kakek saya. Sepeninggal Nenek saya, Nenek memang dipanggil duluan, Kakek merasa sangat terpukul dan kesepian sekali, meskipun saat itu tinggal bersama Ayah, dan beberapa Paman dan Bibi saya. 

Waktu Kakek bersih-bersih ladang di belakang rumah, ceritanya di situ dulu juga ada pohon mangga yang sudah tua sekali pohonnya, tapi saya tidak njamani. Kakek menemukan buah mangga yang besar dan sudah ranum, tergeletak di tanah begitu saja, mungkin jatuh saat mau dimakan kelelawar. Lalu Kakek kupas dan makan buah itu, dan Kakek bilang ke Ayah saya, “ Lihatlah, buah mangga ini kayaknya istimewa, dagingnya benar-benar manis dan segar, bijinyapun keras dan besar. Biarlah biji ini saya tanam, nanti kalau mau tumbuh, besar dan berbuah, kamu semua akan tahu rasanya “. 

Singkat cerita, biji itu ditanam lalu bertunas, dan tumbuh. Kakek setiap hari duduk-duduk di situ sambil menyiram, mencabuti rumput-rumput di sekitarnya, dan terus mengikuti perkembangannya. Pembaca pasti tahu kalau kita menanam mangga dari bijinya, bayangkan betapa lama pertumbuhannya. Sedangkan usia Kakek sudah sangat lanjut waktu itu, mana mungkin beliau bisa ikut menikmati buahnya. Dan benar, beberapa tahun kemudian Kakek saya meninggal, sedangkan pohon itu baru tumbuh setinggi pagar ( kurang lebih 2 mt ). 

Yang saya bayangkan adalah, kenapa Kakek begitu yakin, lalu mau menanam, dan terus tekun menyiram dan merawat pohon itu. Apa yang ada dibenak Kakek saya waktu itu, saya tidak tahu. Setiap hari, beliau hanya menyiram, merawat, menyiram, dan merawat saja, entah kapan hasilnya, saya yakin beliau sendiri pun tidak tahu. Mungkin saja Kakek suka berandai-andai, membayangkan betapa girangnya cucu-cucunya nanti saat makan buah dari pohon mangga yang ditanamnya itu, betapa senangnya mereka nanti bersenda-gurau dan bermain-main di bawah pohon mangga yang ditanamnya itu. 

Saya sendiri juga berandai-andai, seandainya Kakek saya hanya memikirkan dirinya sendiri saja, mengingat usianya yang sudah tua, yang sudah jelas tidak akan bisa ikut menikmati buahnya,  tentu pohon mangga itu tidak pernah ada, dan kami semua tidak bisa menikmatinya. 

Lagi-lagi benar apa kata Cak Sul, “ Berandai-andai itu anugerah Tuhan yang istimewa ! “. 

Oleh : 
Admin. Mancing Kutuk Gabus

Kamis, 10 Oktober 2013

Berbincang dengan Mbah Sawiyo



Berbincang dengan Mbah Sawiyo

“ Zaman saya muda dulu, kalau ada wanita yang mau dinikahi orang mancing, itu sudah jelas sejelek2nya wanita, atau se-apes2nya wanita ”, cerita Mbah Yo kepada saya dan teman2, saat istirahat di gubuknya Mbah Yo. Kontan semua orang yang ada di situ tertawa ngakak, mereka baru pertama mendengar ini dari Mbah Yo.  Saya cuma tersenyum, saya sudah pernah mendengar kalimat yang serupa, 5 tahun yang lalu, dari Abah Manap, pemilik kolam pancing di Banjar Panji, Sidoarjo.

“ Kok bisa Mbah ? “, tanya Tofa penasaran, karena memang cuma dia di antara orang2 yang ada di situ, yang masih bujangan.  Cak Ali dan Pak Su’eb yang dari tadi sibuk dadak ganggang, akhirnya mentas dan ikut nimbrung, duduk di tanah begitu saja, di depan Mbah Yo, keduanya masih basah kuyub oleh air tambak.

Merasa banyak yang tertarik, Mbah Yo melanjutkan ceritanya, “ Iya, masalahnya kalau zaman dulu itu, orang mancing untuk mencari nafkah, untuk makan, bukan kayak sekarang ini. Orang tua zaman dulu, lebih senang kalau anak gadisnya dirabi pegawai, orang kantoran, tentara, pulisi (maksudnya polisi). Masa depannya jelas, punya pensiun, sudah ndak akan ngerepoti orang tua lagi. Tapi sekarang ini beda, lha wong orang mancing sekarang ini semuanya pada punya hape….uhuk…uhuk…uhuk ! “. Berkata panjang lebar Mbah Yo langsung batuk.

“ Haa…..haaaa.haaaaa…hhaaaaaa ! “, semua orang tertawa keras2, suasana jadi meriah gara2 Mbah Yo. Teman2 yang sebenarnya dari tadi sudah pada kemas2 mau pulang, karena memang hari sudah jam 8.00 siang, kutuk2 sudah ndak nggondol, matahari sudah terasa sangat terik menyengat, akhirnya pada duduk semua, mendengarkan Mbah Yo.

Mbah Yo, adalah pemilik tambak di daerah Rangkah, usianya kira2 mendekati 70 tahun, pensiunan tentara. Orangnya sederhana, orang yang ndak kenal pasti mengira Mbah Yo itu sadis, pendiam, pemarah, sombong, sulit diajak ngomong, dan sebagainya. Karena Mbah Yo memang raut mukanya demikian, kumisnya lebat ubanan, orangnya juga jarang bicara, meskipun ketemu persis di depan kita, tersenyum pun tidak. Tetapi dia sama sekali tidak pernah keberatan, ketika kita hampir tiap hari mancing kutuk di tambaknya, “ habis2-kan…!”, katanya. Namun kalau dia sudah mau ngobrol dengan kita, barulah kita tahu Mbah Yo, orangnya peramah, mudah akrab, banyak pengalaman, wawasannya luas, suka bercanda, dan yang paling unik, dia itu cepat hafal nama2 kita, dia selalu memanggil kita dengan nama kita. Tidak seperti pemilik2 tambak lainnya, yang meskipun sering gaul akrab dan berbincang2 dengan kita, tetapi belum tentu tahu nama2 kita semuanya, paling2 satu dua orang yang dikenal mereka.

“ Ojok seneng2 mancing, wong mancing ngono nguwenehi mangan ngerah patine ! “, kata Mbah Yo lagi, dan kontan semua orang tertawa lagi. (Artinya : janganlah bersenang2 dengan mancing, sebab orang yang mancing itu, memberi makan supaya bisa merenggut nyawa). 

“ Lha terus, kalau mau cari kutuk, gimana caranya Mbah ? “, tanya teman2.

“ Cari kutuk kok mancing, sampeyan kalau hujan2 itu lho ke sini, jalan saja keliling tambak nanti kan ketemu kutuk, malah iso sak pirang2 ! “, jawab Mbah Yo.

Kenyataannya memang demikian, ketika musim hujan tiba, selesai hujan lebat dan hujan masih turun rimis2, biasanya kutuk2 lompat kedaratan. Penjaga tambak cukup berjalan saja mengelilingi tambak, untuk memungut kutuk2 yang melompat ke pinggir2 tambak itu, dan itu bisa dapat puluhan ekor, kalau ditimbang bisa dapat belasan kilo,  jauh lebih banyak daripada jumlah terbanyak yang pernah kita dapat dari mancing. 

Tapi jelas bukan ini yang kita cari, kita memang mancing kutuk, tetapi sensasinya- lah yang kita cari. Kita bukan senang karena dapat puluhan ekor kutuk, puluhan kali strike-nya itulah yang kita senangi, dan yang kita banggakan, yang kita nanti2kan setiap pagi, dan yang kita sering bicarakan setiap hari. Ini berbeda dengan apa yang dipikirkan Mbah Yo.

“ Wah … gak seni itu Mbah, kita ini cari seni, orang mancing kutuk itu cari seninya Mbah !”, kata Tofa lagi, memang hanya Tofa yang berani ngomong banyak sama Mbah Yo, yang lainnya agak2 sungkan.

“ Golek seni kok nok tambak, nek wong sekolahan iku golek seni yo nok museum ! “, jawab Mbah Yo, lagi2 semua orang tertawa ngakak.  

“ Iyo Mbah…lha wong sing mancing iki ra enek sing sekolah….kekkh….kkekkhh…kekkh..! “, Pak Su’eb yang dari tadi ikutan tertawa terkekeh2, ikut menimpali.

Saya jadi penasaran, tertawa terus membuat perut terasa sakit mulas, saya ingin tahu apa kira2 jawaban Mbah Yo, lalu saya tanya, “ Terus apa bedanya dengan orang nambak Mbah, bukankan panjenengan ngasih makan ikan, membesarkannya, lalu nanti juga untuk dipanen, dan disembelih ? ”.

“ Sampeyan keliru, saya memang memelihara ikan dan ngasih makan, tetapi saya tidak ikut membesarkan, dan memang terus saya  jual, lalu mereka yang nyembelih, …bukan saya “, jawab Mbah Yo santai. 

Bagi saya ini agak srekalan, saya kejar lagi, “ apa panjenengan ndak pernah mbeteti ikan to Mbah ? “.

“ Iyo nek pas pingin. “, jawabnya.

“ Itu podo mawon Mbah ! “, semua orang tertawa ngakak.

“ Sampeyan kalau mancing itu ya harus hati2, jangan mburu senang thok, terus lali, kutuk di sini itu ada yang momong,  apalagi kalau mancing di bawah pohon trembesi sana itu. “, cerita Mbah Yo lagi.

“ Emangnya ada apa Mbah di sana ? “, tanya Cak Kliwon, kali ini semuanya serius mendengarkan.

“ Kemarin itu, pagi2 sekali, hari masih gelap sehabis subuh, saya dengar sendiri dari gubuk sini, nuenggak sak buanter-buantere, “ byyuuooorrrr….! “, suaranya kayak pohon rubuh, mau tak lihat ke sana kok masih gelap, terus tak lihat saja dari sini. “ sambung Mbah Yo.

Semuanya diam serius mendengarkan Mbah Yo, kecuali Cak Pri, sambil memegang perutnya dia menahan tawa, tapi ndak kuat, lalu ngakak,” kaa….kaaa..khaaa ! “. Mbah Yo mesem2 melihat Cak Pri, jari telunjuknya yang kanan menutup mulut, telunjuk yang kiri menunjuk Cak Pri.

Akhirnya Cak Pri buka mulut cerita, kontan semua orang tertawa ngakak keras2, semua baru tahu kalau Cak Pri kemarin kecebur tambak, ketika pagi2 sekali casting sendirian dari bawah pohon trembesi. 

Setelah puas tertawa2 dengan Mbah Yo, Cak Ali dan Pak Su’eb, selanjutnya kami pamit pulang. Di jalan, teman2 masih saja terus tertawa membicarakan Mbah Yo. Terlebih lagi saya,  kejadian2 yang saya alami pagi hari tatkala mancing, kadang masih terbawa di tempat kerja siang hari, dan saya kadang tersenyum sendiri.

Oleh :
Admin. Mancing Kutuk Gabus